Jika dunia yang dipilih maka akhirat akan terlantarkan. Adapun jika akhirat yang dikejar, dunia tidak maksimal didapatkan. Ingin dapat dua-duanya, sepertinya hampir mustahil. Harus satu yang didahulukan. Ya, dan pilihannya ada pada akhirat. Dengan pertimbangan, jika dunia yang didahulukan, kemungkinan mendapatkan akhirat nol persen. Namun, jika akhirat yang didahulukan, dunia masih bisa didapatkan, meskipun cuma satu persen. Itu lebih baik. Baca dan cermati firman Allah ‘‘Azza wa Jalla berikut (yang artinya),
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
(QS. al-Qashash [28]: 77).
Apa pesan yang terkandung dari ayat tersebut? Menurut para ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Jami’ al-Bayannya misalnya, hendaknya harta yang Allah berikan itu digunakan untuk kebaikan akhirat, dengan cara mendistribusikannya pada ketaatan dengan tetap memerhatikan bagian kita di dunia, alias tidak melupakannnya. Ambil dan gunakanlah untuk sesuatu yang akan menyelamatkan kita besok dari azab Allah.
Atau, seperti kata as-Sa’di dalam kitab Taisirnya, harta yang diperoleh itu adalah sarana menuju akhirat, maka seyogyanya digunakan untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah. Hendaknya disedekahkan dan tidak digunakan untuk pemenuhan syahwat semata. Tidak mengapa jika ingin bersenang-senang dengan dunia, hanya saja jangan sampai membahayakan agama dan akhiratnya. Nah, begitulah seharusnya. Hidup di dunia cuma sekali, itu pun tidak abadi.
Lalu seperti apakah nasib seseorang kelak jika ia mendahulukan dunia? Mendahulukan akhirat, bukan berarti tidak boleh bersenang-senang menikmati dunia. Itu boleh-boleh saja, asalkan jangan sampai terlena dan lupa pada tujuan yang sesungguhnya. Bahkan, seandainya kenikmatan itu digunakan sebagai sarana menuju tujuan yang asasi, yaitu akhirat, itu adalah sesuatu yang sangat bagus. Bukankah demikian?
Di samping itu, hal ini juga akan mengurangi ketergantungan hati pada dunia. Sebab hati tersibukkan oleh perkara akhirat, meskipun secara lahiriah sedang menikmati dunia. Sebaliknya, jika hati disibukkan dengan perkara dunia, ketergantungannya pun pasti ada padanya, meskipun secara lahiriah sedang melakukan amalan akhirat.
“Jika dunia dan akhirat berkumpul dalam satu hati,” begitulah Sayyar Abu Hakam memaparkan yang kemudian dinukil Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Dzamm ad-Dunyâ, “Maka salah satunya akan saling mengalahkan yang lainnya. Siapa pun yang kalah ia akan ikut dan tunduk kepada pemenangnya,”
Sumber: https://muslim.or.id/24741-agar-dunia-tak-memenjara-3-pandangan-orang-mukmin-terhadap-dunia.html