Sulit berkata,”tidak” untuk menolak permintaan atau ajakan orang dengan alasan “ga enak” sangat sering kita jumpai dialami oleh seseorang, diri kita pun mungkin salah satu yang pernah mengalami hal tersebut. “Nanti dia marah”, “ Kalau tidak di iya kan nanti dia sedih dan kecewa”, “Kasihan kalau ga diterima permintaannya”, “Ga enak kalau ga diikuti, dia pernah berbuat baik sama saya”, “Kalau ditolak, nanti dia ga mau lagi berteman dengan saya”, adalah beberapa alasan yang membuat diri kita seringkali merasa berat untuk berkata tidak padahal disaat yang bersamaan ada hal- hal yang lebih penting untuk dikerjakan dan diutamakan yang membuat kita tidak memungkinkan untuk memenuhi ajakan atau permintaan yang datang dari orang lain atau ketika itu kita memang sedang tidak berkenan untuk memenuhi permintaan atau ajakan tersebut. Lalu bagaimana caranya supaya kita bisa berani untuk tegas berkata,”Tidak” tanpa harus merasakan beban di hati akibat merasa bersalah atau khawatir? Yuk kita bahas bersama, ya shalihat fillah.
- Berpihaklah pada kewajiban dan tanggungjawab diri sendiri
Orang yang datang pada kita tentu atas izin Allah. Melaluinya Allah menguji kita akan kesadaran kita akan tanggungjawab atas tugas yang harus kita selesaikan. Manakala permintaan atau ajakan itu diutarakan oleh orang yang tidak begitu kita kenal dekat, mungkin akan lebih mudah bagi kita untuk menolaknya. Akan tetapi, jika hal itu datang dari orang- orang dekat, semisal, sahabat, saudara, orang yang pernah berbuat baik kepada kita, orang yang menunjukkan kesedihan atau datang dalam keadaan menangis, biasanya sangat sulit bagi kita untuk melakukan hal itu.
Maka, ketika ada yang menemui kita sekadar untuk mengajak ngobrol panjang lebar, meminta bantuan yang tidak mendesak atau mengandung unsur mudharat, mengajak ke suatu kegiatan atau kesuatu tempat yang tidak kita sukai, ketika itu terjadi berpihaklah pada tanggungjawab yang harus kita selesaikan.
Sesungguhnya setiap diri kita ini kelak akan dimintai pertangungjawaban oleh Allah atas apa yang kita perbuat. Kemarahan Allah lebih mengerikan dibandingkan kemarahan orang tersebut andaikan kita menolaknya. Keselamatan diri kita dari adzab Allah lebih utama untuk kita upayakan. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isro’: 36). (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 77).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Bukan berarti kita tumbuh menjadi orang yang tidak punya belas kasih, tidak peduli, tidak baik atau tidak bersosial dengan berani menolak dan tegas berkata,”Tidak” atas permintaan orang lain pada diri kita. hanya saja, kita membiasakan diri untuk menimbang dan memutuskan pilihan yang tepat dengan mempertimbangkan juga kewajiban dan tugas yang harus kita laksanakan. Jangan sampai permintaan orang lain yang kita penuhi itu malah menjadi keburukan bagi diri sendiri dihadapan Allah dan menjadi bomerang bagi diri sendiri karena melalaikan hak- hak Allah dan kewajiban kita lainnya.
- Setialah pada kebenaran
Allah meminta kita untuk selalu berkata dan besikap benar disegala keadaan, termasuk untuk kita selalu bersama dengan orang-orang yang benar. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119).
Oleh karena itu, apabila datang permintaan atau ajakan yang tidak baik bagi akhirat kita, jika orang lain meminta kita menemani atau mengajak kita melakukan sesuatu yang tidak benar sebagai pertolongan untuknya, maka wajib bagi kita untuk menolaknya, dan harus lah kita ketika itu meniadakan rasa “ga enak” yang menjadi penghalang kita untuk tegas menolak. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (QS. Al Maidah: 2).
Ayat ini jelas menunjukkan pada kita bahwa terlarang saling tolong menolong dalam maksiat.
Dalam hadits juga disebutkan,
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa yang memberi petunjuk pada kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan jelek tersebut dan juga dosa dari orang yang mengamalkannya setelah itu tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 1017).
- Sampaikan kata, “Tidak” dengan cara yang baik
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa mengerjakan yang ma’ruf dan dengan cara yang ma’ruf pula. Begitu juga ketika kita hendak menolak dan berkata,”Tidak” untuk permintaan atau ajakan yang tidak perlu kita iyakan, kita harus menyampaikannya dengan cara yang baik. Sebab, seringkala bukanlah penolakan itu yang menggoreskan luka di hati akan tetapi cara menyampaikan penolakan itulah yang menyakiti. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl:125)
Sebagaimana yang dilakukan pula oleh Nabi Musa Alaihi Salam tatkala menolak untuk menyembah selain Allah dengan menjadikan Fir’aun sebagai Illah dan menyampaikan kebenaran itu kepada Fir’aun, Allah pun memerintahkan untuk melaksanakannya dengan cara yang ma’ruf, yaitu dengan kata- kata yang baik dan disampaikan dengan kelembutan. Allah Ta’ala berfirman:
فَقُوۡلَا لَهٗ قَوۡلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوۡ يَخۡشٰى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Taha:44)
Tidak ada jaminan kalimat- kalimat baik yang kita sampaikan sebagai penolakan itu bisa diterima dengan baik pula. Akan tetapi dengan berlaku demikian, kita telah menjalankan perintah Allah untuk menyampaikan segala sesuatu dengan cara- cara yang ma’ruf, sehingga meskipun dalam kenyataannya orang yang datang pada kita itu tidak mampu menerima dengan baik apa yang kita sampaikan, kita telah dicatat sebagai hamba Allah yang mentaati Allah, insya Allah.
- Lakukan segala sesuatu karena Allah, bukan karena “Ga enak”
Perasaan “Ga enak” adalah kendaraan yang dipakai syaithan untuk menjajah kebenaran yang harusnya kita bela. Rasa “Ga enak” ini pula yang menyebabkan seseorang yang hijrah sulit untuk istiqomah dari ajakan teman- teman di lingkungannya. Rasa ‘Ga enak” ini pula yang menyebabkan seseorang batal mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya karena alasan ia melakukan sesuatu bukan karena Allah tapi karena tidak enak dengan orang yang memintanya.
Kerugian besar untuk seseorang apabila hal ini dilakukan terus menerus dalam kehidupannya di dunia. Bagaimana tidak, selama di dunia hatinya dirundung beban karena melakukan sesuatu dengan berat hati akibat cuma melakukan karena ga enak padahal hatinya ingin menolak, sementara di akhirat atas apa yang ia perbuat dirinya tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun dari Allah, karena bukan Allah muara tujuan yang menjadikan ia melakukan hal tersebut.
Firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وما لا يكون له لا ينفع ولا يدوم
“Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.” (Dar-ut Ta’arudh Al ‘Aql wan Naql, 2: 188).
Jika sulitnya berkata “Tidak” karena pernah ada budi baik yang ia berikan di waktu sebelumnya, sesungguhnya itu bukanlah alasan yang dibenarkan untuk mengiyakan semua keinginan dan permintannya tanpa pertimbangan akan manfaat dan mudharat, sebab kebaikannya itu tidak akan hilang begitu saja, ada Allah yang Maha Membalasi kebaikannya itu. Dan masih ada acara lain untuk menunjukkan rasa terimakasih kita selain dengan mengiyakan permintaan dan ajakan yang ia sampaikan, diantaranya dengan mengajaknya pada kebaikan dan kebenaran, selalu mendoakan kebaikan untuknya dan membantunya untuk urusan- urusan yang ma’ruf yang tidak meninggalkan kewajiban dan tidak melalaikan hak- hak Allah dan orang yang memilik hak atas diri kita.
Kita belajar dari Nabi Musa Alaihisallam bagaimana dirinya telah diasuh di lingkungan istana Fir’aun, akan tetapi itu bukanlah alasan bagi Nabi musa Alaihisallam untuk mengiyakan permintaan dan perintah Fir’aun untuk menyembah dan mentuhankan Fir’aun. Meskipun dirinya diasuh semenjak dari bayi di dalam istana megah Fir’aun, hal itu tidak menjadikan hadir rasa “Ga enak” lalu mengikuti permintaan Fir’aun begitu saja. Sebab Fir’aun pun kala itu juga mengungkit- ungkit kebaikannya terhadap Nabi Musa Alaihisallam.
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ
Bukankah kami telah mengasuhmu di tengah (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu” (QS. Asy-Syua’ara’/26:18)
Setelah itu, Nabi Musa Alaihissallam menjawab berbagai kebaikan yang disebut-sebut Fir’aun kepadanya, berupa pemeliharaan dan kebaikannya kepada Nabi Musa Alaihissallam.
وَتِلْكَ نِعْمَةٌ تَمُنُّهَا عَلَيَّ أَنْ عَبَّدْتَ بَنِي إِسْرَائِيلَ
Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil”. (QS. Asy-Syua’arâ’/26:22)
- Utarakan alasan yang tepat
Alasan yang tepat bukanlah alasan yang diada-adakan untuk bisa menolak dan mudah berkata “tidak”. Akan tetapi, kita cukup sampaikan alasan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya mengapa hal itu tidak memungkinkan untuk kita terima.
“Masya Allah, ini sungguh tawaran dan ajakan yang sangat menyenangkan, tentu saya akan menerimanya dengan senang hati pula andaikan saya tidak sedang mengerjakan tugas kuliah yang sudah menjelang dateline ini. Mohon maaf sekali ya. Mungkin bis akita lakukan bersama di lain waktu, insya Allah.”
“Afwan ukti, untuk saat ini saya belum bisa untuk ngobrol banyak, karena ada sesuatu yang penting yang harus saya selesaikan lebih dulu. Insya Allah lain kesempatan mudah- mudahan kitab isa cerita – cerita banyak berdua ya. Senang sekali bisa bertemu denganmu hari ini.”
“ Saya tahu, kita dulu pernah melakukan hal ini sama- sama. Tapi mohon maaf, untuk saat ini saya tidak bisa lagi melakukannya. Allah melarang kita berbuat demikian. Jadi, maaf dengan sangat saya tidak bisa menerima ajakanmu. Mudah-mudahan Allah berikan hidayah untukmu dan untuk diriku bisa istiqomah di jalan Allah.”
Alasan- alasan yang kita sampaikan dengan kelembutan dan benar sesuai apa yang sedang kita rasakan saat itu akan membuat diri kita lebih ringan untuk mengatakannya dibandingkan harus mencari- cari alasan yang tidak sesuai dan terkesan membohongi.
- Ingatlah bahwa waktu berharga
. Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang” (HR. Bukhari no. 6412).
Orang bilang, “time is money”, ini suatu ungkapan yang menyatakan betapa sungguh bernilai waktu yang kita miliki. Waktu tidak akan berputar mundur, waktu juga tidak sudi menunggu kesiapan kita, waktu pun tidak pernah bisa diajak konpromi untuk bersedia menahan detak langkahnya demi kita.
Maka cermat dalam memanfaatkan waktu yang kita miliki adalah cara bijak menghargai waktu yang kita punya itu. Jadi, ketika ada hal- hal yang tidak manfaat, sesuatu yang tidak perlu untuk dikerjakan yang datangnya dari orang disekitar kita, sudah seharusnya kesadaran ini kita munculkan untuk mudah bagi diri kita tegas berkata “ tidak”.
Bukan hanya berakibat terbengkalainya urusan kita sendiri, lebih dari itu setiap kesia- siaan yang sengaja atau tidak sengaja kita lakukan, semua itu ada hisabnya kelak dihadapan Allah.
Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al-Fawaid berkata,
اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا
“Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
- Ikhlas menerima konsekwensi
Ketika kita berkata “Tidak” karena Allah dan kosekwensiny adalah ditinggalkan teman, disisihkan atau dikucilkan, bahkan dibenci atau dimusuhi, ingat sekali lagi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan oleh salah seorang sahabat,
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5: 363)
Sebagaimana di kisah Nabi Musa Alaihisallam, beliau menerima konsekwensi dari penolakan yang beliau utarakan kepada Fir’aun. Kala itu Fir’aun yang terkutuk itu mengancam akan membunuh nabi Musa Alaihissallam :
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُ ۖ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ
“Dan Fir’aun berkata (kepada para pembesarnya), “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. Ghafir/40:26)
Dan Nabi Musa Alaihissallam ikhlas menerima semua konsekwensinya dengan merespon ancaman tersebut dengan doa:
وَقَالَ مُوسَىٰ إِنِّي عُذْتُ بِرَبِّي وَرَبِّكُمْ مِنْ كُلِّ مُتَكَبِّرٍ لَا يُؤْمِنُ بِيَوْمِ الْحِسَابِ
“Dan Musa berkata, “Sesungguhnya aku berlindung kepada Rabbku dan Rabbmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (QS. Ghafir/40:27)
Upaya- upaya yang dilakukan oleh Nabi Musa Alaihisallam patut kita tiru manakala harus berhadapan dengan konsekwensi atas kata “ Tidak” yang kita sampaikan, yaitu dengan berdoa dan sepenuhnya menyerahkan diri dan segala urusan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا ۖ إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allâh dan bersabarlah! Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allâh; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A’raf/7:128)
بِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.’ (QS. Ali Imran: 159)
Hidup kita ini amanah dari Allah. Bukan sepenuhnya milik kita yang bisa perlakukan sesuka- sukanya kita tanpa ada balasan dan hisabnya. Sayangi diri kita dengan tegas berkata “Tidak” untuk segala hal yang tidak berpihak untuk kebaikan kita di dunia dan di akhirat.
Semoga bermanfaat.
