Memanajemeni atau mengelola emosi marah yang diajarkan dalam syariat melalui apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya diperuntukkan bagi seluruh kalangan tanpa berbatas usia atau gendernya. Ajaran mengelola amarah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ini bersifat universal. Lantas, bagaimana menejemen emosi wanita yang bisa kita paktekkan manakala kita terpaparrasa marah dengan mengacu pada apa yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam contohkan?
-
Mengedepankan akal
Wanita seringkali menghadapi apapun lebih menonjolkan perasannya. Sehingga, wanita lebih sering tidak berfikir panjang ketika marah. Mereka spontan melakukan apa yang menjadi dorongan perasaannya: berteriak, menjerit, menangis, melempar barang, mencakar, memukul, memaki, atau diam seribu bahasa berhari- hari sebagai unjuk rasa/ berdemo dengan prilaku yang merusak diri sendiri: tidak mau makan, mengurung diri di kamar, tidak mau melakukan aktifitas yang biasa dilakukan, dan parahnya ini bisa dilancarkan berhari- hari. Sehingga seringkali mengabaikan tanggungjawab yang seharusnya dilaksanakannya, baik itu kepada Allah, orangtua, ataupun kepada suami. Untuk meminimalisasi keadaan ini, maka wanita mulai detik ini harus mengoptimalkan penggunaan akal yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Hanya orang- orang yang mempergunakan akalnya untuk berfikir saja yang pada akhirnya bisa melihat permasalahan yang ada dengan kaca mata iman, hikmah dan prasangka baik. Lalu bisa melihat cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada karena akalnya mampu memilah baik dan buruk sesuai dengan kacamata syariat. Semua hanya terjadi jika tombol on pada akal wanita di aktifkan.
-
Tempatkan perasaan pada tempatnya
Ketika tombol on pada akal wanita telah diaktifkan, maka wanita baru bisa menempatkan perasannya pada tempat semestinya. Akalnya yang memimpin perasaannya. Dengan berfikir menggunakan akalnya, wanita tahu, apakah pantas jika saat itu dirinya berteriak- teriak? Apakah pantas dirinya memaki orang lain? Apakah baik dipandangan Allah apabila dia memukul, mencakar, merusak barang, dikeadaan tersebut? Apakah dibenarkan oleh syariat jikalau dirinya melakukan unjuk rasa berhari- hari terlebih apabila dilakukan untuk berdemo ke Allah, orangtua atau suaminya? Jawaban atas pertanyaan- pertanyaan itu akan menggiring wanita untuk bisa melihat kebaikan yang seharusnya dia lakukan tanpa dikacaukan oleh memperturutkan perasannya melampiskan kemarahannya dengan hawa nafsunya.
Wanita harus memahami perasaan yang Allah berikan lebih pada dirinya bukan sebuah alasan yang membenarkan tindakan buruk wanita disaat marahnya. Tidak juga alasan sedang PMS sehingga ia menurutkan badmood-nya, moody-nya itu yang membuat wanita cenderung marah- marah tidak jelas, tidak peduli berhadapan dengan siapa, tidak peduli bersikap yang seburuk apa. Dia merasa benar kalau sedang PMS wanita ya memang begitu. Padahal, ini adalah talbis syaithan untuk menjerumuskan wanita di dalam perbuatan dosa. Pemikiran-pemikiran keliru yang harus segera diluruskan jika ingin bisa meraih derajat manusia yang bertaqwa seperti yang disampaikan Allah dalam kalamnya di dalam Al-Quran surah Ali ‘Imran ayat 134.
Wanita Allah lebihkan perasannya dari laki-laki, karena sesungguhnya keseharian tugas wanita sangat berhubungan erat dengan hal-hal yang bersentuhan dengan perasaan. Wanita Allah berikan tugas sebagai ibu yang kelak akan mengandung, melahirkan dan merawatanak-anaknya. Jika tanpa porsi perasaan yang lebih, bisa jadi wanjita yang mengandung akan segera menggugurkan kandunganya disebabkan karena begitu payahnya hari demi hari dilaluinya disertai segala keluhan yang tidak enak dan tidak menyamankan dirinya. Jika tidak Allah berikan perasaan yang besar untuk mencintai, mengasihi dan mengayomi sudah tentu akan ramai kita dengar berita para wanita yang menghempaskan bayi yang baru saja dilahirkannya karena begitu parah rasa sakit yang dirasakannya ketika melahirkan bayinya. Namun dengan perasaan yang Allah lebihkan ini, wanita mampu melewati masa sulit dan beratnya masa kehamilan dengan rasa syukur dan hati bahagia, “Anakku sebentar lagi akan lahir..”, “Aku tidak sabar lagi menunggu kelahiran anakku tercinta..”, meskipun tangannya sambil mengusap- usap pinggangnya yang sakit dikarenakan bertambah besar perutnya akibat janinnya yang juga semakin membesar di dalam rahimnya. Amazing, itu bisa dilakukan wanita sambil tersenyum di tengah kesakitan dan kepayahannya. Masya Allah.
Bahkan manakala organ kewanitaannyapun belum lagi tuntas dibenahi oleh penolong persalinannya, begitu ia melihat wajah bayinya, senyum sumringah bahkan tetesan airmata haru tanda dirinya sangat bahagiapun bisa seketika ditunjukkan oleh makhluk Allah yang namanya wanita. Just like a magic. So fantastic. Belum lagi wanita beberapa saat setelah melahirkan harus menyusui bayinya. Dikeadaan ini, bahkan rasa nyeri dan penat selepas melalui prosesi melahirkan tidak kuasa mengalahkan keinginannya untuk mendekap dan menyusui bayinya, sepanjang malam jika bayinya rewel, wanita rela mengesampingkan kantuknya. Bertahan demi mengurus bayi mungilnya. Ketika ditanya mengapa ia bisa nmelakukan itu, alasan wanita biasanya menjawab,”Kasihan anak saya kalau saya tinggal tidur, dia haus dan mungkn merasa tidak nyaman. Jadi saya dekap dan gendong dia semalaman.” Dan hebatnya lagi, itu dikatakan tanpa ada intonasi kekesalan ataupun kemarahan pada bayinya. Masya Allah. Saat anaknya sakit, tidak perlu kita ragukan lagi bagaimana seorang wanita sebagai ibu menjaga dan merawat anaknya seringkali tanpa mempedulikan dirinya sendiri.
Dengan memahami hal ini, insya Allah membuat wanita mampu menempatkan perasannya tepat sesuai tempatnya, yaitu digunakan untuk tugas yang Allah embankan kepadanya.
-
Berupaya tenang dari detik pertama
Mengapa kesadaran untuk berupaya menenangkan diri perlu dilakukan sejak awal kita menyadari “something happen in my heart”? Karena lonjakan emosi marah bisa menguasai diri kita sepenuhnya disebabkan kita tidak menyadari, bara api kecil yang berhasil masuk ke dalam hati sebagai cikal bakal amarah yang menguasai diri itu harus segera di padamkan dengan menejemen marah yang sebaik- baiknya.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk insya Allah sukses menghadirkan ketenangan di hati, antara lain:
a. Memperbanyak berdzikir dan istighfar dalam rangka mengingat Allah
Bukankah kita semua mengetahui, bahwa hanya dengan mengingat Allah saja hati merasakan ketenangan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اَلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَتَطۡمَٮِٕنُّ قُلُوۡبُهُمۡ بِذِكۡرِ اللّٰهِ ؕ اَلَا بِذِكۡرِ اللّٰهِ تَطۡمَٮِٕنُّ الۡقُلُوۡبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. ar-Ra’d: 28).
b. Membaca ta’awudz, meminta perlindungan pada Allah dari godaan setan
Kenapa sampai meminta tolong pada Allah agar dilindungi dari setan? Sudah dijelaskan di awal bahwa amarah adalah pintu yang dimanfaatkan syaithan untuk menggelincirkan manusia ke dalam dosa. Dalil-dalil berikutnya insya Allahmemperjelas bahwa marah bisa dari setan. Maka kita mengamalkan firman Allah dari ayat berikut,
وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200)
Sulaiman bin Shurod radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, ‘A’udzubillahi minas-syaitani’ (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya.” (HR Bukhari, no. 3282)
Juga ada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
إِذَا غَضِبَ الرَّجُلُ فَقَالَ أَعُوْذُ بِاللهِ، سَكَنَ غَضْبُهُ
“Jika seseorang dalam keadaan marah, lantas ia ucapkan, ‘A’udzu billah (Aku meminta perlindungan kepada Allah)’, maka redamlah marahnya.” (HR. As-Sahmi dalam Tarikh Jarjan, 252. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1376)
c. Atur nafas
Caranya:
Tarik napas dengan lembut melalui hidung, rasakan perut Anda menggembung seperti balon yang ditiup (kira-kira selama 4 detik),
Tahan napas (kira-kira 4 detik),
Hembuskan napas perlahan-lahan melalui mulut, bayangkan Anda sedang meniup lilin (sekitar 4 detik),
Sembari barengi dengan dzikir atau beristighfar
Tahan napas (kira-kira 4 detik),
Ulangi lagi dari awal, dan lakukan beberapa kali (mis: 5-7 kali) sambil memperhatikan perubahan pada tubuh dan perasaan.
Saat kita bernapas dalam dan perlahan, detak jantung pun menjadi lebih pelan. Perasaan jadi lebih tenang. Bagian otak yang mengatur “alarm” marah ini, yaitu amigdala jadi semakin turun aktivitasnya. Saat alarm bahaya atas kecemasan, kemarahan, kepanikanberhasil dimatikan, pada saat inilah kita mulai bisa berpikir benar dan rasional, menggunakan kembali “IQ” yang kita miliki.
Di tahap kita mengatur napas ini, ketika menghembuskan napas sembari kita melafazkan kalimat ta’awudz atau kalimat istighfar.
d. Memahami semua adalah “Qodarallah”
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya,
”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Setelah merasakan perasaan mulai tenang, maka ingatlah bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini tidak lepas dari rencana terbaik Allah untuk kita dan sudah menjadi bagian dari takdir Allah yang telah tertulis di dalam Lauh Mahfudz (dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/314, disebutkan bahwa “lauh” adalah lembaran dan “mahfuzh” artinya terjaga. Kata Ibnu Katsir, Lauhul Mahfuzh berada di tempat yang tinggi, terjaga dari penambahan, pengurangan, perubahan dan penggantian). Ini terjadi 50 ribu tahun sebelum langit dan bumi ada.
Allah Ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al Hadid: 22-23)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرُ الخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”(HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.)
Dalam hadits lainnya disebutkan,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَ مَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ
“Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin adalah qolam (pena), kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya.” (HR. Tirmidzi no. 2155. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Kita harus meyakini bahwa tinta telah kering di atas lembaran Lauh Mahfudz untuk setiap hal atau kejadian yang Allah takdirkan terjadi untuk diri kita. Disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Pena telah diangkat dan lembaran catatan (di Lauhul Mahfuzh) telah kering.” (HR. Tirmidzi no. 2516. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Saat ini adalah waktu dimana kita memang mau tidak mau, suka tidak suka, rela tidak rela harus menjalani itu semua. Tentu yang terbaik adalah kita melaluinya dengan keridhaan agar Allah ridha kepada kita.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridho (menerimanya) maka Allah akan meridhoinya dan barangsiapa yang murka (menerimanya) maka Allah murka kepadanya.”( HR. At-Tirmidzi no. 2396, Hasan)
عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رضى الله عنها أَنِ اكْتُبِى إِلَىَّ كِتَابًا تُوصِينِى فِيهِ وَلاَ تُكْثِرِى عَلَىَّ. فَكَتَبَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها إِلَى مُعَاوِيَةَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ > مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ<
“Dari seseorang penduduk Madinah, ia berkata bahwa Mu’awiyah pernah menuliskan surat pada ‘Aisyah -Ummul Mukminin- radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata, “Tuliskanlah padaku suatu nasehat untuk dan jangan engkau perbanyak.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menuliskan pada Mu’awiyah, “Salamun ‘alaikum (keselamatan semoga tercurahkan untukmu). Amma ba’du. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridho manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414 dan Ibnu Hibban no. 276. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Simak kelanjutannya dalam link berikut ini https://mmshalihah.com/nasihat/manajemen-emosi-wanita-part-3/