Malam masih dingin di guyur hujan yang belum berhenti sejak tadi. Seakan langit sedang membaca tiap kalimat yang kususun sembuyi-sembunyi didasaran hati. Untuk yang kesekian kali, air mata menumpah atas masalah yang seakan tak menemui limit henti. Tentang luka yang seakan telah mendarahdaging pada diri. Bukan, bukan sekadar tentang mengapa semua begini, tapi juga tentang cinta yang seakan telah terkikis dan telah hambar tuk dinikmati. Rumah, bukan lagi harapan tuk kembali. Namun untuk pergi, pada jalan mana yang harus ditelusuri?

 

Terkadang aku merasa, betapa bahagianya mereka yang menjadi kuat atas dekapan dan semangat yang diberi oleh orang tua. Sedangkan aku, terengah-engah tungkai ini menapaki tiap takdir yang seakan ditabur duri diseluruh sisi. Berjalan sendiri, terjatuh lalu bangkit diatas kaki sendiri. Ingin kujabarkan seluruh kalimat yang dituliskan oleh hati. Namun percuma, pada hati hanya sedikit yang mengerti.

 

Aku mengira bahwa cinta tak selamanya bertabur suka, tak seperti kata mereka yang merasakan indahnya dicintai. Sebab nyatanya, yang kurasa justru derita. Ingin aku menjerit, mengeluarkan seluruh sesak yang ada dalam dada. Silahkan jika harus berpisah, walau hal itu tak sedikitpun kudamba. Tapi bisakah, untuk terus mengalirkan cinta dan kasih sayang itu pada raga? Bisakah untuk tetap menganggapku ada ditengah kemelut drama cinta yang justru tak kunjung sirna?

 

Memori itu kembali hadir menyapa jiwa. Aku seakan kembali merasakan momen-momen indah yang pernah kurajut ditengah hangatnya sebuah keluarga. Masa-masa dimana kita saling melempar tawa ditengah senja yang meraja. Ketika nikmatnya masakan mama menjadi hangatnya kebersamaan sebuah keluarga. Ketika tangan mungilku menggenggam erat tangan mama dan papa, lalu sesekali mengangkat kedua kaki dan bergelantung pada kuat tangan mereka. Rindu sekali rasanya. Namun untuk kembali merasakannya di hari ini, hal itu begitu mutasil untuk terjadi.

 

Aku pernah hampir gila sebab terlalu hanyut bersama derita yang dirasa. Menangis tanpa henti seakan yang menimpa hidupku adalah masalah yang paling berat dibandingkan masalah manapun yang menimpa kehidupan orang lain. Mengurung diri dalam kamar, memeluk guling dan berteman dengan bantal.   Makanan paling sedap pun seakan pahit sebab hati telah mengambil alih seluruh rasa. Nyatanya, aku menghabiskan waktu dengan menikmati setiap luka. Seakan memang akulah yang tak ingin meraih indahnya kebahagiaan.

 

Setelah berjalannya waktu, aku sadar bahwa hidupku tak seharusnya berhenti sampai disini hanya karena kesakitan demi kesakitan yang telah dalam mengakar pada diri. Sudah saatnya untuk aku berdamai dengan segala rasa sakit yang ada pada hati. Hujan tak boleh terus menerus mengguyur diri. Aku tak boleh tenggelam terlalu dalam pada kesakitan yang terus menyiksa tanpa henti.

 

Lembaran baru harus segera kuisi. Dan setelah perjalanan panjang yang kulalui, aku mulai menemukan jalan yang harus aku telusuri. Aku mulai tahu kemana aku harus kembali. Aku tahu, pada siapa cinta ini sepenuhnya aku beri. Aku tahu, bahwa ada cinta yang tak sedikitpun memberi derita. Ada cinta yang takkan pernah pergi dan akan selalu menemani. Cinta yang tak pernah lekang oleh waktu, cinta yang membawaku pada kebahagiaan yang abadi. Dialah cinta untuk Sang Pemilik Cinta. Dimana takkan ada kata kecewa jika kita telah bergantung pada-Nya sepenuh jiwa dan raga.

 

Aku masih heran pada diriku sendiri jika ia masih betah pada luka ketika ia bisa memilih untuk bahagia. Bukankah, Allah takkan mengubah suatu kaum sebelum kaum itu mengubah dirinya sendiri? Bagaimana aku bisa mendapatkan kebahagiaan jika yang terus kugandeng adalah kesedihan dan kekecewaan? Sebab jika diri menginginkan keutuhan lagi, itu sangat tidak mungkin untuk terjadi. Maka, carilah jalan lain jika satu jalan telah tertutup. Bangkilah dari zona nyaman yang justru ketika menetap padanya, ia akan membunuh jiwa secara perlahan. Maafkanlah mereka yang telah hadir membawa luka. Sejatinya, mereka pun tak ingin hal ini terjadi. Dan bisa jadi, mereka pun juga merasakan kesakitan yang sama seperti yang kita alami. Lantas, mengapa kita seakan berfokus hanya pada luka yang ada pada diri kita?

 

Perlahan namun pasti, melangkahlah. Selalu ada hikmah yang Allah beri disetiap peritiwa. Mungkin belum sekarang kita mengetahuinya. Tapi kelak, kita akan sangat bersyukur karena pernah berhasil melaluinya. Paling tidak, kita bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ibadah yang menjadi separuh agama ini. Belajar agar hal ini takkan terulang lagi yang akan berdampak pada kesakita yang akan dirasakan oleh anak-anak kita nanti.

 

Fokuslah untuk memperbaiki diri. Fukuslah untuk menjadi hamba-Nya yang Ia cintai. Sebab, kenikmatan tertingi seorang hamba adalah ketika namanya diperbincangkan oleh penduduk langit dikarenakan Rabbnya telah memilihnya menjadi hamba-Nya yang Ia cintai.

 

Ingatlah, bahwa setiap kesakitan yang kita rasakan didunia hanya akan bertahan sampai dunia ini berakhir. Dan setiap ujian yang kita lalui, dia ibarat gurat merah yang hadir pada kehidupan. Dimana tanpanya, kehidupan ini menjadi hambar tuk dinikmati.

 

Untukmu yang membaca ini, teruslah menjadi baik agar  hatimu segera membaik. Percayalah, bahwa Allah tidak menciptakanmu hanya untuk menikmati ujian ini semata. Allah menghadirkanmu di muka bumi ini untuk sebuah tugas yang mulia; menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman-Nya di Surah Al-Baqarah ayat 30,

 

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠

 

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.

 

Maka, lanjutkanlah tongkat estafet dari orang-orang pilihan sebelum kita. Dan ingatlah, sebagaimana hadits shahih yang telah diriwayatkan oleh Al-Hakim, bahwa ujian yang paling berat yang menimpa manusia adalah para nabi, kemudian yang terbaik setelahnya, kemudian yang terbaik setelahnya.

 

Annisa Nafiya

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar