MENJADI MENANTU KESAYANGAN IBU MERTUA
Pernikahan yang harmonis dan penuh cinta kasih tentu dambaan setiap pasangan suami istri dalam mengarungi biduk rumah tangganya. Akan tetapi, seringkali muncul “duri” dirasakan seorang istri dari perlakuan ibu mertuanya yang banyak mengatur dan ikut campur urusan rumah tangga karena merasa berhak untuk mengatur perihal rumah tangga anak laki- lakinya. Perdebatan pun tidak terelakkan lagi antara menantu dan ibu mertua. Bahkan menimbulkan pertengkaran besar yang melibatkan suami.
Sebagai istri, tentu ingin menjadi ratu di hati suami dan sepenuhnya memegang kendali atas pengaturan segala hal yang menyangkut urusan rumah, anak- anak dan suami, tanpa ada intervensi dari sang mama mertua. Namun parahnya, tatkala suami tak mampu bijak untuk menyelesaikan masalah antara istri dan ibunya, suami kurang mendengar keluhan- keluhan istri atau suami terkesan lebih membela ibunya dibandingkan berpihak pada istrinya, disinilah sesungguhnya letak awal kehancuran rumah tangga itu dimulai. Kenyataannya, pada akhirnya polemik ini diselesaikan dengan turunnya talak dari suami kepada sang istri atau sang istri yang berinisiatif mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama demi membela dirinya sendiri.
Salihat fillah, yuk coba tips berikut untuk bisa menjadikan diri kita sebagai kesayangan ibu mertua kita, dimana kita diterima di hatinya layaknya anaknya sendiri. Supaya rumah tangga bebas polemik yang pelik seperti uraian di atas. Selain itu, insya Allah suami semakin menyayangi istri karena bisa mengambil hati ibunda tercintanya.
- Tanamkan pada diri: “Ibu suamiku adalah ibuku juga”
Pernahkah shalihat merasa risih dengan orang yang baru dikenal? Merasa asing dan membuat jarak supaya kehadiran orang tersebut tidak menembus garis privasi kehidupan kita. Kita merasa terganggu, tidak terima dan marah tatkala orang tersebut merangsek masuk ke wilayah privasi kita. Berbeda keadannya tatkala kita bersama orang yang kita anggap bagian dari circle kehidupan kita. Kita lebih mudah untuk menerima saran darinya, kita lebih terbuka untuk bicara, kita tidak merasa asing dan terganggu dengan kehadirannya di dekat kita, ini ibu kandung kita sendiri, misalkan.
Maka, ketika kehadiran ibu mertua dalam kehidupan kita mendapat label sebagai orang lain bagi diri kita, inilah sebab utama mengapa prilaku ibu mertua cepat sekali memancing kekesalan dan ketidakterimaan dalam diri kita. Kita akan mengartikan saran- saran yang ibu mertua sampaikan sebagai “ngatur- ngatur”, “ikut campur”, dan “tidak menganggap” posisi kita sebagai istri anaknya.
Karena kita menganggap ibu mertua sebagai orang lain, lantas muncullah kecemburuan manakala suami melaksanakan tugas birul walidainnya. Padahal, di sisi hati suami tidak ada maksud dan niatan sama sekali menduakan istrinya dengan ibunya. Akan tetapi, prasangka awal yang sudah terbangun begitu tinggi membuat hal yang dilakukan suami sebagai keberpihakannya lebih kepada ibunya dibandingkan diri kita, istrinya.
Inilah sangat penting untuk menancapkan prasangka baik dan anggapan yang sesuai terhadap kehadiran ibu mertua dikehidupan rumah tangga kita. Ya, ibu suamiku adalah ibuku juga. Siapa yang akan merasa risih tatkala dekat dengan ibunya? Siapa yang berani membantah dengan bersikap frontal pada ibunya? Tentu sebagai anak, kita akan memposisikan diri kita dengan level pemakluman yang luas atas kekurangan ibu kita, kecerewataannya, nunjuk- nunjuk ngaturnya dan sikap- sikap yang terterima di diri kita sebagai sikap yang kurang menyenangkan. Kita lebih mudah memberikan udzur pada ibu kita sendiri dibandingkan pada orang lain, bukan? “Ah, sudahlah. Dia kan ibu saya. Maklumin ajalah, dia sudah tua, dia juga beda generasi dengan saya. Jadi wajar dia bertindak seperti itu”. Bukankah seringkali ini yang kita batinkan di hati manakala ibu kita berbuat yang tidak sesuai dengan keinginan kita atas kehidupan pribadi kita?
Lagipula, secara syariat ibu dan ayah mertua kita seumur hidup kita akan tetap menjadi orang tua kita meskipun andaikata tidak lagi hidup bersama dengan suami karena bercerai atau karena suami meninggal dunia. Keduanya selamanya digariskan Allah sebagi mahram kita. Haram bagi suami menikahi ibu kandung istrinya dan haram pula hukumnya seorang istri menikah dengan ayah mertuanya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ
“Diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu istri kalian (mertua), “ (QS. An-Nisa’ : 23)
Seperti dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah,
فمن تزوج امرأة حرم عليه كل أُم لها ، قريبة أو بعيدة [يعني الأم والجدة] بمجرد العقد نص عليه أحمد وهو قول أكثر أهل العلم منهم ابن مسعود وابن عمر وجابر وعمران بن حصين وكثير من التابعين وبه يقول مالك والشافعي وأصحاب الرأي….؛ لقول الله تعالى : ( وأمهات نسائكم ) والمعقود عليها من نسائه ، فتدخل أمها في عموم الآية . قال ابن عباس: أبهموا ما أبهم القرآن يعني عمموا حكمها في كل حال ، ولا تفصلوا بين المدخول بها وبين غيرها
“Laki-laki yang menikahi seorang wanita, maka seluruh ibu sang wanita menjadi mahramnya, baik ibu jauh maupun dekat (yakni ibu kandung ataupun nenek), hanya dengan melakukan akad nikah.”
Dijelaskan pula dalam Fatawa Syabakah Islamiyah no. 26819 :
فلا يجوز للرجل الزواج من أم زوجته بعد طلاق بنتها أو وفاتها؛ لأن أم الزوجة محرمة على زوج ابنتها على التأبيد
“Seorang lelaki tidak boleh menikahi ibunya istri meski setelah menceraikan putrinya atau ditinggal mati putrinya yang menjadi istrinya. Karena ibu mertua statusnya mahram selamanya bagi menantu.”
Bukankah dalil- dalil di atas adalah alasan yang jelas dan mendasar bagi kita untuk menempatkan ayah dan ibu mertua kita sebagai orang tua kita bukan sebagai orang lain di hidup kita?
- Mendukung suami untuk birrul walidain
Seringkali pertengkaran terjadi antara suami istri karena istri merasa berat tatkala merasa suami lebih peduli terhadap ibunya. Alih- alih jujur, pada akhirnya suami memilih untuk melakukan baktinya kepada sang ibunda secara sembunyi- sembunyi karena khawatir istri jadi marah. Parahnya, yang namanya menyembunyikan sesuatu dengan izin Allah ketahuan juga oleh istri dan akhirnya benar- benar jadi masalah antara suami dan istri tersebut. Lalu, di hati istri mulai tumbuh bibit- bibit kecewa terhadap suami karena berfikir suaminya tidak terbuka kepadanya. Padahal, kalau ditelisik dari awal semua bermula dari sikap istri yang kurang mendukung suami.
Masalah akan semakin meruncing ketika suami kemudian menceritakan pada sang ibu perihal perangai istrinya yang marah karena memberikan sesuatu pada ibunya atau sering mendatangi sang ibu. Hati ibu mertua tentu merasa kecewa terhadap menantunya, lalu muncullah rasa tidak suka kepada menantu yang nantinya akan menjadi pemicu tertengkaran antara istri dan sang ibu mertua atas masalah- masalah sepele. Karena satu sama lain telah tumbuh prasangka buruk. Hal yang seharusnya bisa dimaafkan dan dibicarakan baik- baik menjadi asbab pertengkaran yang tak terelakkan. Ya, hati telah lebih dulua menyimpan kecewa, sehingga persinggungan yang kecil bisa membakar seluruh hati di kobaran kemarahan besar.
Ketahuilah shalihat, tatkala seorang istri terbuka untuk memberikan jalan bagi suami untuk birrul walidain kepada orang tua, terkhusus ibunya, suami tidak akan menyembunyikan apapun dari sang istri. Sebab, ia merasa istrinya ada dipihaknya dan selalu mensupportnya untuk berbuat bagi terhadap orang tuanya. Dan ketika istri seringkali mengingatkan suami untuk mengunjungi ibunya, sekali waktu menanyakan kabar sang ibu mertua akan keadaan kesehatannya atau kebutuhannya, menemani suami mengurus ibunya, dan tidak Lelah mengajak suami untuk melaksanakan baktinya terhadap sang bunda, ketulusan hati istri jelas terbaca oleh ibu mertua. Hal inilah yang menghadirkan rasa kasih dan cinta ibu mertua kepada anak menantunya. Karena tidak ada seorang ibupun di muka bumi ini yang senang jika menantunya menjadi duri di jalinan darah dan cinta kasih yang dibina semenjak anak dalam kandungannya sampai dewasanya. Sebaliknya, semua ibu, siapapun dia insya Allah pasti akan merasa beruntung dan bahagia tatkala mendapati anak menantunya menjadi jembatan untuk terus terbinanya hubungan silaturahim yang harmonis dan baik anatara dirinya dengan anak laki- lakinya serta cucu- cucunya.
Akhlak baik sang menantu terhadap ibu mertua serupa inilah yang menumbuhkan rasa cinta ibu mertua terhadap anak menantunya. Bahkan rasa cinta yang dimiliki untuk anak menantunya bisa mengungguli rasa cintanya terhadap anaknya sendiri. Maka saat suami berbuat yang tidak menyenangkan istri dan ibu mertua mengetahui hal itu, ibu mertua akan menunjukkan keberpihakannya terhadap menantunya. Karena dirinya tidak rela jika anak laki- lakinya menyakiti istrinya yang merupakan anak menantu kesayangannya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Sesungguhnya kalian tidak bisa menarik hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia” (HR. Al Hakim dalam mustadroknya. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Keuntungan lainnya dari istri yang mendukung, memudahkan dan menganjurkan suami untuk birrul walidain, selain bersemi rasa kasih dan cinta ibu mertua kepadanya, istri tersebut juga mendapatkan bagian yang sama atas pahala birrul walidain yang diperoleh suaminya. Bayangkan betapa keberuntungan yang besar. Tidak melakukan sesuatu yang besar, akan tetapi memperoleh pahala yang sungguh bernilai, yaitu kunci surga Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dalam hadits- hadits berikut:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم : مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” [HR. Muslim no. 1893]
Ini ada juga pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
”Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya setelahnya; tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu pun dari dosa-dosa mereka.”
[HR. Muslim, no. 1017]
فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah, bila Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui tanganmu, itu lebih baik bagimu daripada engkau mempunyai unta merah.”
[HR. al-Bukhâri, no. 3009, dan Muslim, no. 2406 dari hadits Sahl bin Sa’ad as-Sâ’idi Radhiyallahu anhu]
- Mudah memaafkan dan banyak memberi udzur kepada ibu mertua
Tidak ada manusia tanpa sisi buruk dalam dirinya, termasuk juga diri kita sendiri, begitu juga halnya dengan ibu mertua kita. Usia yang terpaut jauh berbeda, cara fikir yang tidak sama, cara pandang akan satu hal yang berbeda, dan pemahaman ilmu agama yang mungkin tidak sama, menjadikan banyak perbedaan antara ibu mertua dan menantu. Namun begitu, semua perbedaan dan perlakuan yang terasa kurang menyenangkan dari ibu mertua insya Allah akan lebih mudah untuk dimaafkan dan tidak menjadi sesuatu yang diambil hati adalah dengan memberikan banyak udzur kepadanya.
Ketika seorang ibu mertua menyampaikan sesuatu kepada menantunya, sesungguhnya itu tanda perhatian beliau kepada menantu dan anak laki- lakinya juga kepada cucu- cucunya. Mungkin cara yang ditunjukkannya tidak menyenangkan hati, terkesan cerewet, menggurui, atau mendikte, akan tetapi yang harus diterima adalah rasa kasih sayangnya yang dengan kata- katanya atau sikapnya itu beliau tunjukkan.
Bukankah nasihat itu terkadang terterima perih karena bisa jadi itu adalah obat bagi hati yang lalai? Serupa obat betadhine yang dioleskan pada luka. Perih, namun berpotensial untuk menyembuhkan luka.
Ketika yang disampaikan oleh ibu mertua dengan cara dan gayanya sendiri itu bisa diterima dengan baik oleh anaknya serta menantunya, maka sang ibu merasa dirinya didengarkan dan dihargai. Hal ini yang akan melahirkan cinta dan rasa sayang bertambah kepada menantunya.
- Meminta ridha ibu mertua
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِم
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim) [HR. Tirmidzi, no. 1899; Ibnu Hibban, 2:172; Al-Hakim, 4:151-152. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
Ibu mertua adalah ibu dari suami. Beliau yang telah mengandung, melahirkan, membesarkan, merawat serta mendidik dari semnejak kecil hingga dewasa. Di keridhaan ibu suami ada ridha Allah bagi suami dan kelangsungan kehidupannya termasuk kehidupan rumah tangganya bersama istri dan anak- anaknya. Maka, sangat penting untuk memperoleh ridha ibu mertua. Karenanya, tatkala berkunjung ke rumah mertua, biasakan untuk meminta maaf atas kesalahan yang mungkin terlakukan tanpa disadari telah menyakiti hati ibu mertua. Dengan tulus, mintalah doa dari ibu mertua untuk kelanggengan dan keharmonisan rumah tangga bersama anaknya, sang suami tercinta.
Hati seorang ibu akan merasa sangat senang dan tersanjung kala sang menantu meraih tangannya lalu meminta maaf dan minta keridhaannya. Ia akan merasa sangat dipentingkan dan dihargai oleh anak dan menantunya. Dan manakala doa tulus dari lisannya mengalir deras setiap waktu untuk anak laki- lakinya beserta menantu juga cucu- cucunya, sungguh pengabulan Allah dengan doa- doa itu amatlah dekat.
Ibu mertua yang diperlakukan dengan sangat santun dan ditempatkan di tempat penting di kehidupan anak dan menantunya insya Allah semakin menyadari bahwa anak laki- lakinya tidak salah pilih pasangan hidup, dan makin menyayangi menantunya.
Sebaliknya, ibu mertua yang diabaikan oleh anaknya karena perangai istrinya tentu merasa sangat sedih dan kecewa terhadap anaknya juga kepada menantunya. Dan ini akan menjadi keburukan bagi suami dihadapan Allah karena telah membuat sang bunda meneteskan airmata kesedihan.
’Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma berkata,
إِبْكَاءُ الوَالِدَيْنِ مِنَ العُقُوْقِ
“Membuat orang tua menangis termasuk bentuk durhaka pada orang tua.” (Birr Al-Walidain, hlm. 8, Ibnul Jauziy)
- Selalu mensyukuri kebaikan mertua
Istri- istri yang berseteru dengan ibu mertuanya kebanyakan karena tidak memandang adanya kebaikan yang telah dilakukan ibu mertua terhadap dirinya. Merasa kecerewetan mertua sebagai campur tangan atas rumah tangganya. Berfikir sang ibu mertua merendahkan dirinya ketika dirinya dinasihati atau ditegur oleh ibu mertua. Merasa privasinya di acak- acak oleh ibu mertuanya ketika ibu mertua urun saran atau berusaha menyampaikan hal- hal yang ia anggap tidak seharusnya dilakukan sang menantu terhadap anak lakai- lakinya, atau merasa diintervensi dalam mengurus putra- putrinya yang notabennya adalah cucu dari sang ibu mertua.
Sadarilah shalihat, sungguh besar kebaikan yang telah dilakukan oleh ibu mertua untukmu. Tanpa rahimnya, tidak akan lahir laki- laki soleh yang baik dan penyayang seperti suamimu. Dari kasih sayang ibunya kepadanyalah, suamimu mengerti bagaimana harus memperlakukan seseorang dengan penuh cinta dan perhatian. Dari tangan mertualah suamimu bisa tumbuh sehat, gagah dan tampan yang membuat hatimu kemudian jatuh cinta kepadanya. Setiap hari, ibu mertualah yang selalu menyuapi suamimu makan, yang menjaga dan merawat manakala suamimu sakit semenjak suamimu masih bayi mungil yang tak berdaya. Jika ibu mertuamu jahat dan kejam, tentu beliau tidak akan sudi untuk merawat anaknya dengan baik, karena ia berfikir kelak anaknya juga akan meninggalkannya untuk hidup bersama wanita pilihannya, dan itu, dirimu, shalihat.
Bersyukurlah kepada Allah karena telah memberikanmu jodoh yang terbaik yang lahir dari rahim ibu mertuamu, dengan selalu berterimakasih atas semua kebaikan- kebaikan yang telah ia lakukan terhadap suamimu.
Allah sangat senang dengan manusia yang mau bersyukur dan berterimakasih atas kebaikian manusia lain kepadanya. Bahkan, Allah tidak memandang seseorang sebagai orang yang bersyukur kepada Allah sampai seseorang itu mau dan mampu berterimakasih terhadap manusia.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Abu Daud no. 4811 dan Tirmidzi no. 1954. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Cara berterimakasih terhadap ibu mertua tidaklah sulit, bisa berupa memperbanyak memuji kebaikan ibu mertua, banyak mendoakan beliau dan menyampaikan terimakasih melalui lisan juga melalui kesungguhan dalam mengurus dan merawat anak laki- lakinya dan cucu- cucunya.
Dari Jabir bin Abdillah Al Anshary radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرْوُفٌ فَلْيُجْزِئْهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْزِئْهُ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ، وَمَنْ تَحَلَّى بَمَا لَمْ يُعْطَ، فَكَأَنَّمَا لَبِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan) yang tidak dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai pakaian kepalsuan.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 215, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Jangan sampai seorang menantu menganggap mertuanya tidak memiliki kebaikan sedikitpun sehingga ringan baginya untuk memperturutkan nafsunya memperkarakan hal- hal sepele yang berkenaan dengan perlakuan ibu mertuanya. Tentu pasti ada kebaikan ibu mertua terhadap kehidupan rumah tangga menantu dan anak laki- lakinya walau hanya sedikit. Nah shalihat, yang sedikit inilah yang tetap harus disyukuri.
Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).
Bukankah dengan banyak bersyukur kepada Allah kemudian setelahnya berterimakasih kepada kebaikan- kebaikan manusia lain termasuk ibu mertua akan mendatangkan kebaikan yang bertambah dari Allah?
Allah Ta’ala berfirman dalam Alqur’an surah Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Shalihat fillah, mertua kita juga manusia biasa yang memiliki kekurangan juga kelebihan. Terimalah keduanya dengan rasa kebersyukuran. Ibu dan ayah mertua kita memiliki hati yang jika kita mampu menyentuhnya dengan cinta, kasih sayang dan akhlak karimah, insya Allah keduanya akan jatuh cinta dan menyayangi kita dengan sepenuh hati pula.