[BAGIAN 2]

 

Apa yang harus dilakukan untuk menciptakan rasa bahagia di dalam rumah tangga?

 

  1. Jangan berharap orang lain yang melakukan.

Biasanya ketika disampaikan tentang bagaimana upaya seorang istri untuk merasakan kebahagiaan di rumah tangga, pertanyaan yang diajukan adalah, “Koq harus aku si yang harus berusaha untuk begini dan begitu. Kan seharusnya suami yang berusaha gimana caranya bikin istri bahagia?’

 

Masalahnya adalah tidak semua suami punya pemikiran demikian, tidak semua suami paham bahwa dia juga punya kewajiban untuk memberikan hal itu ke istrinya. Dan sampai kapan mau menunggu tanpa berbuat sesuatu? Sampai kapan mau merasakan rumah tangga yang tidak bahagia? Sampai kapan mempertahankan ego yang dengan itu menjadi jalan bagi istri lambat laun melepaskan kewajibannya kepada suaminya karena merasa suaminya juga tidak memberikan haknya. Ini setali tiga uang. Keduanya sama- sama akan di adzab Allah karena suami istri ini pada akhirnya menjadi dua orang yang melalaikan kewajiban yang telah Allah perintahkan kepada dirinya dalam perannya sebagai istri dan suami. Apakah ini yang diinginkan terjadi?

 

Maka, ketika kita yang ingin bahagia, kita yang ikhitar. Sama halnya seperti seseorang yang ingin jadi dokter, apakah dia akan menyuruh ayahnya yang mengenyam pendidikan kedokteran yang melelahkan, berat dan penuh perjuangan? Tentu tidak mungkin. Sampai kapanpun juga predikat dokter tidak mungkin bisa disandang. Maka, untuk bahagia, kitalah yang mengusahakannya.

 

  1. Jangan banyak menuntut

Istri zaman now dengan segala persaingan dimedia sosial yang sangat tinggi membuat seorang istri lebih banyak menuntut ketimbang menyadari dan memahami kewajibannya. Seharusnya jadi suami  kan gini, kasih uang ke istri untuk belanja, shopping, senang- senang, ngertiin istri, bantuan istri, bla bla..”

 

Hal ini saja yang disetiap saat dikeluhkan kepada suaminya. Sehingga hal ini membuat suami jengah, lelah dan bosan dengan perangai istrinya. Sebab apa yang dia lakukan diangap tidak ada oleh istrinya, tertutupi oleh tingginya tuntutan yang ada.

 

  1. Utamakan kewajiban

Shalihat, sesungguhnya kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas hak- hak kita, namun kita pasti dimintai pertanggungjawabaan atas kewajiban kita terhadap suami. Sebab, hak kita yang tidak kita dapatkan di akhirat insya Allah pasti Allah berikan kepada kita, akan tetapi saat kita lalai atas kewajiban kita maka adzab Allah di akhirat sudah menunggu.

 

Kita contoh bagaimana bunda Khadijah di dalam kesehariannya terhadap suaminya. Sama sekali dalam hidup beliau tidak pernah menuntut hak pada suaminya, selalu berfokus pada kewajiban yang di perintahkan oleh Allah kepada beliau sebagai istri. Hingga seumur hidup beliau, hanya satu kali beliau meminta kepada suaminya yaitu ketika menjelang kematiannya, beliau meminta kepada suaminya untuk dikafani dengan sorban suaminya ketika wafatnya.

 

Suatu ketika beliau ditanya oleh wanita pada zaman beliau, “Khadijah alangkah bahagianya engkau bersuamikan seorang Muhammad”. Maka bunda Khadijah menjawab, “ Aku tidak pernah berikir apa yang sudah Muhammad berikan kepadaku, namun aku selalu berfikir apa yang harus aku lakukan supaya Muhammad merasa bahagia bersamaku.”

 

Karena besarnya keinginan beliau untuk menunaikan kewajibannya terhadap suaminya, pernah suatu waktu beliau sedang sakit dan masih sibuk menyiapkan ini dan itu untuk suaminya, kemudian nabi shalallahu alaihi wa sallam berkata, “ Duhai istriku, istirahatlah.”  Ketika itu bunda Khadijah menjawab, “ Tidak apa suamiku. Insya Allah istirahatku nanti di surga”.

 

Dari Sikap beliau yang mengedepankan kewajiban beliau sebagai iatri inilah yang mendatangkan cinta Allah kepada bunda Khadijah, sehingga Allah menyampaikan salam kepada beliau dengan perantara malaikat Jibril, dan dijadikan oleh Allah menjadi penghulunya para wanita di akhirat kelak. Dan beliau mendapatkan kain kafan khusus dari Allah yang dibawa oleh malaikat, sehingga beliau dikafani dengan dua kain, sorban nabi dan kafan dari surga.

 

  1. Taat tanpa debat

Seringkali niat istri ketika memotong atau mendebat suami adalah untuk menerangkan dan menjelaskan sesuatu kepada suaminya. Namun hal ini tidak tepat. Karena, kata “bukan begitu”, itu tidak bisa diterima oleh suami sebagai suatu yang baik dan benar, melainkan adalah kata yang dianggap suami sebagai sebuah pembantahan atau penolakan atas apa yang disampaikannya.

 

  1. Mengenali suami

Ketika seorang istri hanya memikirkan apa yang dia inginkan dari suaminya, hanya memikirkan seharusnya apa yang dilakukan suaminya, maka dia akan terlalai untuk mengenali suaminya. Padahal, untuk bisa memberikan apa yang diinginkan sesuai dengan mau suami dan meninggalkan apa yang tidak disukainya, seorang istri  harus tahu seperti apa suaminya. Sifatnya, prilaku dari istri yang disukainya dan tidak, kesukaannya dan ketidak sukaannya terhadap sesuatu. Ini harus dilakukan sepanjang waktu, karena manusia itu makhluk dinamis.

 

Suami kita 10 tahun lalu beda dengan suami kita yang kita lihat saat ini. Ketika kita terlupa untuk terus mengenali suami, maka itulah sebab dimana istri berkata, “ Suamiku sekarang bukan suamiku yang dulu. Aku tidak kenal lagi sama suamiku, dia berubah banget.”

 

  1. Layani suami dengan sesuai inginnya

Ini bisa kita lakukan dengan baik saat kita kenal dengan suami kita. Karena para suami jarang sekali mengatakan apa keinginanaya, paling jawabannya ketika ditanya, “ Tidak apa- apa”, ‘Sudah cukup aja”.

 

Jangan sampai yang terjadi adalah seorang istri merasa sudah susah payah melayani suami akan tetapi suami merasa belum diberikan haknya. Istri masih dianggap istri yangt tidak bisa menyenangkan suami, tidak bisa memenuhi kebutehan suami. Semua karena tidak tepat sasaran atas apa yang dilakukan istri terhadap suami. Di sini termauk bagaimana bersolek yang disukai suami, berpakaian, makan, dan berjima” Dalam Islam, pada saat berhubungan suami istri , suami dan istri boleh melakukan berbagai gaya atau posisi ketika berhubungan suami istri asalkan menuju ke tempat yang benar.

 

Allah ta’ala berfirman:

 

“Istri-istrimu adalah (laksana) tanah tempat bercocok tanam bagimu, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu sebagaimana saja yang engkau kehendaki,” (QS. Al Baqarah : 223)

 

  1. Menghargai suami

Suami sangat senang ketika kita meminta pertimbangannya atas apapun. Dirinya merasa dihargai oleh istrinya. Semua yang dilarangnya atau tidak disukainya ditinggalkan istri dan semua yang diperintahkannya atau yang diinginkannya dilakukan oleh istrinya. Dipatuhi istri merupakan bentuk penghargaan seorang istri terhadap suami. Suami merasa dirinya benar- benar diutamakn dan dihargai sisi kepemimpinannya di dalam rumah tangganya oleh istrinya. Dan sikap istri ini akan menjadi teldan bagi anak- anaknya dalam bersikap dan beradab terhadap ayahnya.

 

  1. Bersyukur atas kebaikan suami

Sekecil apapun yang dilakukan suami, maka syukurilah. Ini akan mendatangkan bertambahnya cinta suami terhadap istrinya. Sebaliknya, rasa kurang bersyukur bahkan sikap meremehkan pemberian suami menjadi jalan datangnya kebencian dan terkikisnya rasa kasih sayang di dalam hati suami.

 

Ingatlah, bahwa banyak wanita masuk ke neraka bukan karena tidak taat kepada Allah akan tetapi karena kufur terhadap suaminya.

 

Seorang isteri diperintahkan untuk bersyukur kepada suaminya yang telah memberikan nafkah lahir dan batin kepadanya. Karena dengan syukurnya isteri kepada suaminya dan tidak banyak menuntut, maka rumah tangga akan insya Allah akan bahagia. Isteri yang tidak bersyukur kepada suaminya dan banyak menuntut merupakan pertanda isteri tidak baik dan tidak merasa cukup dengan rizki yang Allah karuniakan kepadanya.

 

Perintah syukur ini sangat ditekankan dalam Islam, bahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan masuk Neraka bagi para wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan pada hari Kiamat Allah Ta’ala pun tidak akan melihat seorang wanita yang banyak menuntut kepada suaminya dan tidak bersyukur kepadanya.

 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

 Diperlihatkan Neraka kepadaku dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita, mereka kufur.” Para Shahabat bertanya: “Apakah disebabkan kufurnya mereka kepada Allah?” Rasul menjawab: “(Tidak), mereka kufur kepada suaminya dan mereka kufur kepada kebaikan. Seandainya seorang suami dari kalian berbuat kebaikan kepada isterinya selama setahun, kemudian isterinya melihat sesuatu yang jelek pada diri suaminya, maka dia mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu sekalipun.’ (HSR. Bukhari no: no. 29)

 

Contohnya: Padahal suaminya sudah banyak berbuat baik kepada isterinya selama setahun penuh. Karena sekali (saja) suami tidak berbuat baik kepada si isteri, maka dilupakan seluruh kebaikannya selama satu tahun. Itulah yang disebut kufur.

 

Misalnya seorang suami secara rutin telah memberikan nafkah berupa harta kepada isterinya. Namun, suatu waktu Allah ‘Azza wa Jalla mentakdirkan dirinya bangkrut sehingga tidak dapat memberikan nafkah dalam jumlah yang seperti biasanya kepada isterinya, kemudian si isteri mengatakan, “Memang, engkau tidak pernah memberikan nafkah.” Atau contoh yang lainnya, yaitu isteri yang terlalu banyak menuntut, meski sang suami sudah berusaha dengan sekuat tenaga dari pagi hingga sore untuk mencari nafkah.

 

Ancaman Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang-orang yang semacam ini sangatlah keras, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

 

Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup).”(HSR. An- Nasai no 249)

 

Dalam hadits lain, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya orang yang selalu melakukan kefasikan adalah penghuni Neraka.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah, siapakah yang selalu berbuat fasik itu?” Beliau menjawab, “Para wanita.” Seorang Shahabat bertanya, “Bukankah mereka itu ibu-ibu kita, saudari-saudari kita, dan isteri-isteri kita?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi apabila mereka diberi sesuatu, mereka tidak bersyukur. Apabila mereka ditimpa ujian (musibah), mereka tidak bersabar.”( HSR. Ahmad)

 

  1. Kendalikan diri ketika marah

Menejemen emosi sangat penting untuk kita beri perhatian supaya tidak terjadi kerusakan atas buruknya lisan dan arogannya perbuatan ketika marah. Sebagai istri harus sadar, jangan sampai kita menyakiti hati suami dengan lisan dan perbuatan kita ketika kita kesal dan marah kepada suami. Selain untuk menghindarkan diri kita dari dosa, hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk terhindar  dari reaksi buruk yang diberikan suami. Kita tidak bisa menakar, di keadaan seperti apa kejiawaan suami kita tatkala itu sehingga beliau bisa mengendalikan emosinya juga mendapati kemarahan istrinya yang berlebihan. Kita tidak bisa mengukur, apakah suami kita bisa sabar ketika itu atau sebaliknya. Maka, upaya melindungi diri dengan menjaga lisan kita ketika marah harus bisa kita lakukan.

 

Suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga tidak dibenarkan, namun janganlah istri menjadi pihak yang memicu mencuatnya emosi suami. Karena pada akhirnya, bukan hanya diri sendiri yang akan menyesali keadaan itu dengan berkata, “Kalau saja waktu itu aku tidak berbuat demikian dan demikian..” Akan tetapi apa daya, semua sudah terlanjur terjadi. Anak- anak juga menjadi korban yang terdampak atas kejadian pertikaian kedua orang tuanya.

 

  1. Memperhatikan saat berkomunikasi dengan suami

Intonasi suara upayakan tidak melebihi suara suami ketika berbicara. Kedepankan adab, tidak menyela tanpa izin, mendengarkan dengan seksama, memberikan tanggapan dengan cara baik tanpa menyakiti hati suami. Ada bujuk rayu, kemanjaan dan kelembutan terhadap suami.

 

  1. Mengingatkan suami dengan cara yang ma’ruf

Ketika suami dalam keadaan yang salah, keliru atau tidak melaksanakan syariat Allah, maka ingatkan suami dengan cara- cara yang baik, tidak mencecar suami, tidak menghakimi, tidak merendahkan harga diri suami, dan tidak pula dengan mencereweti suami setiap waktu. Kuncinya dengan 3, ilmu, kelemah lebutan dan sabar.

 

  1. Doa

Perbanyak doa setelah ihkitar, lalu tawakal kepada Allah.

 

Semoga bermanfaat, aamiin.

 

Penulis: Ummy Santy Andriani Hafidzahallah

 

[BAGIAN 1]

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar