[Bagian 1]

I. Penyebab konflik rumah tangga

Ada 2:

1. Faktor internal

Murni datangnya dari diri suami istri. Contoh, kebiasaan yang tidak diketahui sebelumnya dari istri ke suami atau sebaliknya, belum bisa menerima dan beradaptasi -> konflik, adanya miss komunikasi antara suami dan istri yang melahirkan prasangka/ penilaianyang tidka objektif( hanya subjektif / baper salah satu pihak saja) ->konflik.

2. Faktor eksternal

Berasal dari luar suami dan istri. Faktor anak -> cara mengasuh yang beda -> konflik dengan mertua , ipar, teman, pekerjaan, lingkungan rumah, dll -> konflik

II. Cara meraih ridha Allah di tengah konflik dengan suami:

1. Menyadari bahwa hidup adalah ujian.

Sudah menjadi sunatullah bahwa semua manusia yang hidup di dunia ini pasti mendapatkan/ diberi ujian oleh Allah.termasuk difase kehidupan rumah tangga kita. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al Anbya ayat 35, yang artinya:

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.”

 

Ibnu Abbas radhialllahu anhuma berkata menafsirkan ayat ini, “(Kami menguji kalian) dengan kesusahan dan kesenangan, dengan sehat dan sakit, dengan kekayaan dan kefakiran, serta dengan yang halal dan yang haram. Semuanya adalah ujian.”

 

Ibnu Yazid rahimahullah mengatakan, “Kami uji kalian dengan sesuatu yang disenangi dan yang dibenci oleh kalian, agar Kami melihat bagaimana kesabaran dan syukur kalian.”

 

Al-Kalbi rahimahullah berkata, “(Maksud Kami menguji) dengan kejelekan ialah yang berupa kefakiran dan musibah. Adapun diuji dengan kebaikan ialah yang berupa harta dan anak.”

 

Dengan menyadari dan meyakini hal demikian, bahwa hidup adalah ujian, maka fase kehidupan rumah tangga tentu tidak terkecuali. Pasti ada ujiannya. Jadi, saat memutuskan untuk menikah kita sudah mempersiapkan dan memkali diri dengan iman, ilmu dan taqwa kepada Allah. Karena sesungguhnya yang memberi ujian adalah Allah dan Allah saja yang menyelesaikan semua tepat pada waktunya dengan wasilah ikhtiar dan doa- doa kita.

2. Menyadari bahwa suami bukan malaikat.

Suami juga manusia biasa yang punya kelebihan sekaligus kekurangan dalam dirinya. Beliau orang yang sebelumnya tidak pernah bersama kita. Suami adalah orang yang baru kita kenal selama proses ta’aruf yang dimasa singkat tersebut tentu tidak terlihat kekurangannya. Tapi, apapun kekurangan yang dimiliki suami, pasti dia insya Allah yang terbaik di pandangan Alah untuk kita. Allah mengetahui kebutuhan kita dan pasti dipandangan Allah suami punya kelebihan yang hal itu sangat kita butuhkan sebagai penyeimbang dan pelengkap kekurangan yang ada pada diri kita.

 

Suami tetaplah manusia yang punya keterbatasan. Sehingga suami tentu tidak bisa memahami apa yang ada dalam pikiran dan hati istrinya. Tidak juga mampu membaca apa yang ada di benak istri beserta keinginan- keinginan terpendam yang ada di dada istrinya. Maka, tatkala ada konflik yang terjadi dan rasa benci bisa saja muncul menyerang hati ketika itu, ingatlah bahwa suami juga punya kelebihan yang bisa jadi belum Allah tampakkan dipandangan kita.

 

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS Al-Baqarah: 216).

3. Mengingati niat awal dan tujuan menikah

Jika awal menikah telah diniatnya untuk meraih ridha Allah, tentu apapun yang Allah izinkan terjadi menjadi sesuatu yang kita terima dengan ridha. Karena ridha atas semua yang telah Allah jadikan adalah kunci bagi kita mendapatkan ridha Allah.

 

Barangsiapa yang ridha ( atas ketetapan Allah)  maka dia (akan mendapatkan) keridhaan (Allah). Dan barangsiapa tidak ridha maka dia (akan mendapatkan) murka (Allah).” {Hadits berkualitas hasan dan diriwayatkan oleh At-Turmudzi di dalam pembahasan az-Zuhd (VII/77).

 

Sehingga ketika ridha Allah yang dituju, masalah/ konflik apapun yang sedang terjadi dengan suami tidak menjadikan kita melakukan hal- hal yang bisa membuat ridha Allah jauh dari kita. Kita akan berupaya mengendalikan diri dan memilih sikap- sikap yang tidak membuat konflik semakin besar, meluas daana melebar.

4. Tidak mengikuti kebiasaan orang kebanyakan.

Jika wanita kebanyakan saat berkonflik dengan suami memilih pergi dari rumah, mengabaikan suami atau menyakiti dirinya sendiri dengan melakukan aktifitas yang merugikan diri sendiri, misalkan mengurung diri di kamar, tidak mau makan, menangis berlama atau prilaku yang mendzalimi diri sendiri lainnya, maka kita mengupayakan diri menjauhi hal- hal demikian. Tetap yang kita kedepankan adalah citra diri sebagai istri shalehah dihadapan Allah yang harus kita jaga.

5. Mengedepankan akal pikiran dibandingkan perasaan

Wanita seringkali menghadapi apapun lebih menonjolkan perasannya. Sehingga, wanita lebih sering tidak berfikir panjang ketika marah. Mereka spontan melakukan apa yang menjadi dorongan perasaannya: berteriak, menjerit, menangis, melempar barang, mencakar, memukul, memaki, atau diam seribu bahasa berhari- hari sebagai unjuk rasa/ berdemo dengan prilaku yang merusak diri sendiri: tidak mau makan, mengurung diri di kamar, tidak mau melakukan aktifitas yang biasa dilakukan, dan parahnya ini bisa dilancarkan berhari- hari. Sehingga seringkali mengabaikan tanggungjawab yang seharusnya dilaksanakannya, baik itu kepada Allah, orangtua, ataupun kepada suami.

 

Untuk meminimalisasi keadaan ini, maka wanita mulai detik ini harus mengoptimalkan penggunaan akal yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Hanya orang- orang yang mempergunakan akalnya untuk berfikir saja yang pada akhirnya bisa melihat permasalahan yang ada dengan kaca mata iman, hikmah dan prasangka baik. Lalu bisa melihat cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada karena akalnya mampu memilah baik dan buruk sesuai dengan kacamata syariat.

6. Mewaspadai sifat marah

Pertanyaannya yang muncul di benak kita adalah,” Mengapa ketika marah kita harus berupaya untuk mengendalikan rasa marah yang datang tidak terduga dan tidak bisa diprediksi kemunculannya?”

 

Jawabannya karena ternyata bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan dirinya, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya.

 

Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa, bukan mereka yang tidak punya rasa marah sama sekali, namun mereka selalu berusaha melawan keinginan hawa nafsu, maka mereka pun selalu mampu meredam kemarahan mereka karena Allah.

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

 

“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”

 

لَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS Ali ‘Imran:133- 134).

Ini sebab utama, kita harus mewaspadai rasa marah dalam diri kita sendiri. Dengan memiliki kewaspadaan, kita tidak mudah terbawa hasutan dan bujukan syaithan untuk melampiaskan rasa marah dengan takaran nafsu kita, yang tentu bisa sangat brutal dan bersifat merusak.

Sekuatnya berusaha melawannya dan menaklukkan liarnya rasa marah yang berkobar di dalam hati kita. Memang tidak mudah. Pasti berat untuk dilakukan. Namun kita harus berupaya menguatkan diri kita untuk bisa keluar sebagai pemenang dalam pergulatan dengan diri sendiri melawan amarah. Hanya orang- orang kuat saja yang bisa melakukan hal ini.

Rasulullah shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

 

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”( HSR al-Bukhari no. 5763) dan Muslim no. 2609).

[Bagian 1]  [Bagian 2]

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar