Seperti Menggenggam Bara Api

Oleh : Farikhatul Aini Aprilia

Lontaran kata-kata yang menyakitkan hati sudah menjadi makananmu setiap hari. Tangis air mata pun sudah sering terjadi sampai kedua mata mulai mengering. Bagimu, rumah adalah tempat ternyaman untuk mengurung diri agar terhindar dari segala konflik batin. Katamu, menjauh dari lingkungan masyarakat lebih selamat untuk mempertahankan prinsip daripada harus mendengar cibiran yang akan menggoyahkan komitmen diri. Anggapmu, lebih baik dijuluki anti sosial daripada harga diri direndahkan di hadapan publik.

Sementara kamu berada dalam kebenaran sedangkan mereka butuh penjelasan. Sementara kamu mengetahui suatu ilmu sedangkan mereka awam terhadap hal tersebut. Akankah kamu membiarkan perbuatan itu terus berulang tanpa perubahan? Apa hanya karena patah kamu justu memilih berdiam diri tanpa mengambil tindakan? Tidak, kita harus menghadapi konsekuensi setelah mempertahankan prinsip selama hal itu berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadis!

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR. Muslim no. 145).

Terlebih di era sekarang, dampak arus globalisasi semakin mengikis nilai-nilai ajaran agama Islam. Salah satu sebabnya adalah peranan masyarakat Barat yang berusaha mewarnai kehidupan umat Islam. Hal ini dapat mempengaruhi pola pikir sebagian orang muslim terhadap perintah syariat. Seperti pada kewajiban muslimah dalam memakai hijab, sebagian kaum perempuan malah mengikuti perkembangan fashion hijab agar tidak ketinggalan zaman. Mereka berpenampilan modis yang membentuk lekukan tubuhnya dengan kerudung yang melilit lehernya. Niat berhijab tidak lagi untuk memenuhi kewajiban seorang muslimah, justru hanya sekadar gaya hidup belaka. Fungsi dari hijab juga disalahgunakan, yang seharusnya berfungsi sebagai penutup aurat berubah menjadi bagian untuk menarik perhatian lawan jenis. Secara tak sadar, perempuan dijadikan sebagai objek entertainment (hiburan atau cuci mata).

Tak hanya itu, di media sosial kerap kali dibanjiri orang-orang Muslim yang mengolok-olok syariat Islam, dikatakan bahwa yang memakai celana cingkrang seperti habis kebanjiran, yang memelihara jenggot seperti kambing, yang menggunakan hijab dianggap kampungan, yang memakai cadar dipanggil ninja Arab, dan lain sebagainya.

Miris, negara Indonesia yang disebut negara mayoritas islam dengan toleransi yang tinggi. Justru sebagian masyarakatnya merasa risih dan benci kepada perempuan yang memakai pakaian longgar serba hitam dan cadar yang hanya terlihat kedua matanya. Di mana masyarakat beranggapan bahwa penggunaan cadar dipandang sebagai pakaian yang berlebihan dan orang yang memakainya dianggap menutup diri dari lingkungan sosial, sehingga dikhawatirkan melakukan kejahatan di balik cadar.

Terkadang mereka mengeluarkan ejekan secara langsung di depan mata pengguna cadar dan di keramaian orang, “teroris,” “ninja,” “pembawa bom,” “mabuk agama,” “sok alim,” “aliran sesat,” dan lain sebagainya. Atau secara tidak langsung dengan memasang mimik wajah sinis ketika melihat mereka. Atau berlari seperti orang ketakutan karena khawatir terdapat bom di balik kerudung besar mereka. Bahkan sebagian dari mereka, dibenci atau diusir oleh keluarganya sendiri karena perubahan dan pemahamannya dianggap sesuatu yang berbau radikal. Melihat kondisi zaman sekarang ini, ada kemungkinan kita akan mendapatkan stigma-stigma sosial dari masyarakat untuk menegakkan syariat Islam yang mulai asing. Terutama bagi yang tinggal di lingkungan awam terhadap agama; masih meluasnya praktik kesyirikan dan tradisi nenek moyang yang menyelisihi syariat.

Hati perempuan yang ibarat gelas-gelas kaca, akan mudah sakit hati apabila hinaan, fitnah, dan kata-kata buruk mengenai dirinya. Belum lagi terdengar, beberapa orang mulai meninggalkan atau melepaskan syariat yang mulai asing itu dikarenakan tidak sanggup lagi mendapatkan stigma-stigma masyarakat. Tentu, kita akan merasa takut secara berlebihan setiap bertemu dengan masyarakat. Khawatir bila dampak dari ucapan mereka mengoyahkan prinsip yang sudah kita bangun. Bahkan, memilih untuk terus mengurung di rumah karena tidak siap menerima ejekan-ejekan lagi ketika berada di luar rumah.

Jika kita menghindari perkumpulan masyarakat dengan dalih takut sakit hati lagi, hal ini malah mengiyakan stigma yang telah mewabah. Kalau kita memang anti sosial. Seharusnya kita melawan stigma tersebut dengan cara menghadapi konsekuensi yang akan terjadi lalu mencari solusi permasalahan ini dengan bijak. Karena, kalau kita hanya diam saja di rumah tanpa pergerakan, lantas, bagaimana ilmu yang telah kita dapatkan bisa tersebar ke masyarakat?

Kita harus menjadi dewasa dengan belajar menjadi seorang muslimah yang tegas, kuat, dan tidak baperan. Karena berpegang teguh dengan ajaran Islam ibarat mengenggam bara api yang menyala-nyala. Biar berapapun ejekan, fitnah, muka sinis, dan prasangka buruk yang didapatkan, cukup kita respon dengan senyuman tanpa memasukkan perkataan mereka ke dalam hati. Tak lupa, kita harus berusaha menunjukkan sikap dan perilaku yang baik di lingkungan masyarakat, barangkali stigma yang tersebar berubah menjadi baik melalui akhlak mulia kita.

Adapun jikalau masih tetap berada di dalam keterasingan, yakinlah dengan penggalan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “fa-thubaa lil ghurobaa-a,” yang artinya, “sungguh beruntunglah orang yang asing.” Walaupun begitu, kita harus tetap berusaha menyebarkan kebaikan dan menjalin hubungan yang baik kepada mereka. Pepatah Arab mengatakan, “ridha manusia adalah tujuan yang tidak bisa diraih sedangkan ridha Allah adalah sesuatu yang tak sepatutnya ditinggal. Oleh karena itu, tinggalkanlah apa yang tidak mampu diraih dan raihlah apa yang tak sepatutnya ditinggal”.

Toh ujian kita ini tak seberat orang-orang shalih yang terdahulu. Salah satunya adalah keteguhan iman seorang wanita yang hidup pada zaman yang penuh dengan kedzaliman. Ia adalah Masyitoh; tukang sisirnya anak Fir’aun. Beliau bersama anak-anaknya rela meloncat ke dalam kuali yang berisi minyak mendidih untuk mempertahankan keimanannya kepada Allah. Dari kejadian tersebut, Allah menjadikan aroma dan nama Masyitoh bersama anak-anaknya wangi semerbak. Yang mana baunya tercium oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Mereka mendapatkan surga dengan mengorbankan darah dan nyawanya atas izin Allah. Lantas bagaimana dengan kita? Apa yang telah kita korbankan untuk Islam?

Mereka memberikan stigma-stigma tersebut karena keawamannya terhadap agama sedangkan tugas kita adalah memberikan udzur dan bersabar atasnya. Tak perlu kita menyalahkan zaman sekarang yang beberapa syariat mulai terasingkan oleh umat, karena ditakutkan kita akan berburuk sangka atas takdir yang telah Allah tetapkan. Toh, setidaknya kita bisa beribadah dengan nyaman dan tentram di negeri mayoritas Islam.

Ketakutan dan kegundahan dalam hati kita dalam mempertahankan syariat di tengah-tengah keterasingan umat, mungkin disebabkan karena kita belum mengetahui seberapa istimewanya hikmah dari syariat tersebut. Dan kita tidak berusaha menggali nilai-nilai pelajaran dari sejarah orang-orang terdahulu. Seperti contoh, kedudukan perempuan sebelum dan setelah datangnya Islam.

Sejarah mengatakan, bahwa pembahasan tentang perempuan sejak dahulu kala sampai sekarang tidak ada habisnya. Sebelum datangnya agama Islam, perempuan dianggap benda yang diperlakukan se-enaknya oleh laki-laki. Bahkan peradaban Yunani yang merupakan peradaban tertinggi dan terhebat di masa purbakala, menganggap perempuan sebagai najis. Harga diri perempuan sama rendahnya dengan barang dagangan yang diperjualbelikan di pasar-pasar sehingga sangat mudah dilecehkan. Adapun bangsa Arab jahiliyah yang terkenal dengan keberaniannya dalam berperang. Mayoritas dari mereka sangat benci dan menanggung malu dengan kelahiran anak perempuan, oleh sebab itu mereka menguburkan anak-anak perempuannya hidup-hidup karena tidak bisa diandalkan dalam berperang.

Pada akhirnya, kedudukan perempuan setelah datangnya Islam berubah menjadi istimewa. Islam memberikan keadilan antara laki-laki dan perempuan serta menghormati harkat dan martabatnya. Islam juga melindungi dan menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Sebagaimana Allah memerintahkan kaum perempuan untuk berhijab agar terasa aman dari kejahatan dan selamat dari fitnah. Perhatian yang sangat besar tersebut ditunjukkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan semua peradaban dan agama besar sebelum datangnya ajaran Islam yang sangat menghinakan derajat perempuan.

Dengan kita mengetahui hikmah diciptakannya suatu syariat; meyakini pentingnya dalam menjalankannya; dan selalu meminta kepada Allah agar diteguhkan hati kita di atas agama-Nya. Insyaallah, Allah akan kuatkan prinsip kita untuk mempertahankan syariat tersebut walau banyak sekali tantangan yang menghadang.

Kita menjadi makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, karena manusia saling membutuhkan satu sama lain. Kita juga menjadi makhluk individu, yang mana memiliki karakter yang berbeda satu sama lain, oleh karenanya kita tidak bisa menuntut seseorang untuk sepemikiran dengan kita, satu visi maupun misi. Termasuk orang-orang yang tidak menyukai kita. Walaupun begitu, kita harus berusaha menunjukkan sikap dan perilaku yang baik di lingkungan masyarakat walaupun diejek, difitnah, dan dihina. Berbaur dan menjalin komunikasi antar masyarakat juga sangat penting karena dengan cara itu masyarakat akan menerima kehadiran kita walau melalui proses bertahap. Insyaallah..

Di sisi lain, stigma-stigma sosial dari masyarakat menjadi hal yang positif bagi kita. Darinya kita bisa mengintropeksi diri bahwa yang sedang kita alami adalah salah satu ujian dari Allah subhaanahu wa ta’ala. Kita tidak perlu sibuk memikirkan perkataan orang lain yang malah akan menganggu kesehatan mental. Cukup semuanya menjadi bahan evaluasi dan batu pijakan untuk kita agar menjadi seseorang yang lebih baik. Semangat menjadi dewasa dengan cara yang bijak 🙂

Wallahu ta’ala a’lam bisshawab

Stigma adalah pikiran, pandangan, atau kepercayaan negatif yang diperoleh seseorang dari masyarakat atau lingkungannya, yang biasanya berupa stereotip hingga diskriminasi yang dapat memengaruhi individu secara keseluruhan.

 Asmanidar. Kedudukan  Perempuan dalam Sejarah (The Women’s Position In Ancient Greece, Athens) (Sekitar Tahun 1050-700 SM)

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar

WordPress Crafted with ♥ by faizONE.ID