Fenomena Pergaulan Remaja Saat Ini

 

Pergaulan remaja saat ini sungguh mengkhawatirkan. Bukan hanya darurat pergaulan dengan lawan jenis, tapi juga pergaulan dengan sesama jenis. Masalah pacaran belum lagi tuntas diberantas dengan memberikan pemahaman bahwa pacararan sesungguhnya haram dilakukan dan sangat dilarang oleh syariat, bahwa pacaran bukan hanya pintu menuju maksiat dan perzinahan saja namun juga membuka jalan terjadinya tindak kekerasan dan kriminalitas  yang sampai kini masih jadi PR bagi kita semua dalam dakwah yang tak boleh berhenti.

 

Belum lagi bermunculan dengan subur tanpa rasa malu sedikitpun, remaja tulang lunak dan melambai menunjukkan dirinya dengan tingkah polahnya memaksa eksis dan diakui sebagai sebuah kelumrahan prilaku. Mereka berwujud laki- laki namun menyerupai wanita. Berdandan, berpakaian dan berlenggak- lenggok layaknya wanita, lalu menentukan bahwa diri mereka pas berpasangan dengan laki- laki sebagai orientasi seksual mereka. Miris pula menyaksikan para wanita yang seharusnya menjalankan kehidupannya sebagai muslimah yang menjunjung tinggi aturan syariat disegala aspek kehidupannya, malah melepaskan itu semua kemudian berpakaian sesukanya, berpenampilan semaunya. Sebagian dari remaja ini bahkan tanpa canggung menunjukkan dirinya serupa tampilan laki- laki lalu mengekspos urusan percintaannya dengan sesama jenis dengan rasa bangga dan bahagia.

 

Dari beberapa tahun lalu, mengenai seks bebas bukan lagi sesuatu yang disembunyikan oleh para pelakunya. Dengan vulgar dan berani, mereka menyuarakan hal- hal yang diperbuat dengan pasangan tidak halalnya di media sosial, diumbar dengan  bebas tanpa batas. Unsur- unsur kebebasan diusung oleh mereka sebagai hak yang tidak boleh dibatasi. Seakan menyatakan , “ Ini hidup gue, bukan urusan elo!” atau dengan bahasa yang lebih berani, “surga neraka gue, bukan urusan lo!” Dikalangan remaja masa kini sudah jadi bagian praktek wajib dalam pacaran untuk bebas bercumbu di depan umum, menikmati liburan berdua bak honeymoon pengantin baru dan dipertontonkan dalam konten yang bisa diakses oleh semua kalangan termasuk anak- anak dibawah umur.

 

Sesungguhnya ada apa dengan generasi masa kini? Mengapa sampai sebegitu memprihatinkan wujud sebagian besar dari mereka dan apa yang menyebabkan hal ini bak bola salju yang menggelinding semakin besar dan tak terkendali? Ini adalah PR kita bersama untuk membenahi “kekacauan” akhlak para remaja masa kini.

 

Apa upaya yang bisa kita lakukan?

 

  1. Menyadari bahwa keadaan ini adalah tanggungjawab bersama.

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا.

 

“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau merekatkan jari-jemarinya.[1]

 

Dengan menyadari bahwa darurat akhlak yang menjangkit sebagian besar remaja ini adalah bagian dari tanggungjawab kita, maka kita tidak akan membiarkan sesiapapun yang kita lihat melakukan hal- hal yang tidak sesuai syariat dalam hal pergaulannya tanpa kita berikan perhatian dan nasihat. Tidak ada rasa tak peduli karena merasa, “Ah, ini bukan saudara saya, bukan keluarga saya, bukan anak atau sepupu dan cucu saya”.

 

Generasi masa depan ini haruslah dibina dan diberikan arahan, baik itu oleh orang tua, guru, masyarakat luas bahkan pemerintah dengan kebijakan- kebijakannya.

 

  1. Mulai dari diri sendiri

 

Marilah kita perhatian perintah Allâh Yang Maha Kuasa berikut ini :

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[2]

Berdakwah tidaklah harus di depan banyak audiens dan disuatu perhelatan acara tertentu, namun kita menunjukkan bagaimana seharusnya pergaulan yang dikendaki oleh syariat antara laki- laki dan perempuan dari cara kita dalam bergaul. Kita berikan contoh langsung pada keluarga kita, kepada saudara dan anak- anak kita sehingga contoh yang nyata yang dilihat secara terus menerus inilah yang lebih mengena dan lebih bisa ditiru dibandingkan hanya koar- koar di atas podium namun dikeseharian ternyata belum bisa memberikan tauladan.

Sehingga kita bukan hanya sibuk menunjuk kesalahan orang saja lalu tak melakukan apa- apa. Namun kita mulai semua dari kita sendiri di circle kita masing- masing. Karena sesungguhnya kita punya tanggungjawab untuk menyelamatkan diri kita sendiri dari adzab Allah berikut anggota keluarga kita lainnya.

 

  1. Tidak mendukung konten- konten yang bermuatan asusila di sosial media.

Firman Allah Ta’ala:

 وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” .[3]

Maraknya pergaulan yang tidak sesuai syariat ini pada sebagian remaja didukung oleh konten- konten yang dibuat mengenai kehidupan pacarana yang diekspos secara luas melalui media sosial. Semakin banyak di tonton maka semakin besar pula peluang penyebarannya. Karena tidak kita pungkiri, gadget saat ini menjadi salah satu kecanggihan teknologi yang dipegang oleh hampir seluruh orang termasuk remaja dan anak- anak.

Jika setiap dari kita melakukan hal ini, dengan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim tentu akan sangat bermakna sehingga tatkala konten- konten serupa hadir namun tidak diminati, maka harapannya konten- konten yang demikian tidak akan dibuat oleh para konten kreator, dan beralih membuat konten- konten yang lebih mendidik dan menginspirasi siapa saja yang menontonnya terutama kalangan remaja.

  1. Meningkatkan kesadaran dan peran orang tua bagi anaknya

 

Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang anak-anaknya.

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

 

‘Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [4]

 

Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

 

“Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan  dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.” [5]

 

Maka orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya. Dengan demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah.

 

Dari didikan dan arahan orang tua sejak dini pada anak dengan kehadiran orang tua yang sesungguhnya bukan hanya secara fisik saja sangat berperan penting dalam membentuk dan membina karakter anak- anak sesuai dengan syariat Islam. Sejak dini mereka sudah terus diingatkan tentang pergaulan antara laki- laki dan perempuan oleh kedua orang tua sehingga saat remaja dan dewasanya anak akan terus berpegang pada apa yang sudah orang tuanya ajarkan. Karena hal itu telah mengkarakter di dalam jiwa anak. Kelak, anak- anak yang telah dididik sejak dini oleh kedua orang tuanya dengan syariat Allah tidak akan mudah terlunturi oleh lingkungan dan tidak termakan oleh pergaulan yang tidak baik.

 

  1. Mengajarkan dan mensosilisasikan aturan pergaulan dengan lawan jenis sesuai syariat

 

  1. Mengenali siapa mahrom kita

 

Dalam ayat yang membahas tentang mahram disebutkan,

 

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

 

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” [6]

 

Yang termasuk mahram yang disebutkan dalam ayat di atas dipandang dari sisi laki-laki:

 

Ibu kandung atau istri dari bapak.

Anak perempuan.

Saudara perempuan.

Saudara bapak yang perempuan.

Saudara ibu yang perempuan.

Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki.

Anak-anak perempuan dari saudara perempuan.

Ibu persusuan.

Saudara perempuan sepersusuan.

Ibu mertua.

Anak dari janda di mana telah berlangsung akad dan hubungan intim dengan janda tersebut.

Istri-istri anak kandung (menantu).

Saudara perempuan dari istri (ipar).

Wanita yang bersuami.

 

Catatan: Sifat ipar (saudara dari istri) dan wanita yang bersuami, juga anak dari janda di mana sudah menikah namun janda tersebut belum disetubuhi, maka sifat mahramnya hanya sementara (mahram muaqqot), namun tetap dalam bergaul dianggap seperti bergaul dengan wanita lain (yang bukan mahram). Sedangkan dua belas lainnya masuk dalam mahram muabbad (mahram selamanya), berarti selamanya itu mahram dan tidak boleh dinikahi.

 

  1. Pada siapa wanita boleh menampakkan perhiasan?

 

Perhiasan wanita hanya boleh ditampakkan pada: (1) suami, (2) ayah, (3) ayah suami (mertua), (4) anak laki-laki, (5) anak laki-laki dari suami, (6) saudara laki-laki, (7) anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan), (8) anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan), (9) wanita Islam, (10) budak yang dimiliki, (11) pelayan laki-laki yang tidak lagi punya syahwat pada wanita, (12) anak-anak yang belum mengerti aurat wanita.

 

Dalilnya adalah firman Allah,

 

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖوَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖوَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚوَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.[7]

 

  1. Apa yang boleh dipandang dari mahram?

 

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun hukum seorang pria melihat dan memandang mahramnya, pendapat yang paling kuat (perselisihannya tidak terlalu kuat dalam madzhab, pen.), yang boleh dilihat hanya yang di atas pusar dan di bawah lutut. Ada pendapat lain pula (dalam madzhab Syafi’i) yang mengatakan hanya boleh melihat seperti keadaan ketika berkhidmat dan beraktivitas dalam rumah. Wallahu a’lam.” [8]

 

  1. Pada selain mahram, tundukkan pandangan

 

Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

 

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

 

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” [9]

 

  1. Pada selain mahram, tidak boleh berdua-duaan (khalwat)

 

Dari ‘Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

 

“Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” [10]

 

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ

 

“Ketahuilah! Seorang laki-laki bukan mahram tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah, atau ada mahramnya.” [11]

 

  1. Tidak boleh bercampur baur dengan lawan jenis dengan mudahnya

 

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِى تَسْلِيمَهُ ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِى مَقَامِهِ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ . قَالَ نَرَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَىْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجَالِ

 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika salam dari shalat, para jama’ah wanita kala itu berdiri. Beliau tetap duduk di tempat beliau barang sebentar sebelum beranjak. Kami melihat –wallahu a’lam– hal itu dilakukan supaya wanita bubar lebih dahulu sebelum berpapasan dengan para pria.”  [12]

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

 

“Sebaik-baik shaf laki-laki (dalam shalat berjamaah, pen.) adalah yang paling depan dan yang paling jelek adalah shaf yang paling belakang. Sebaliknya, shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan yang paling jelek adalah yang paling depan.”  [13]

 

  1. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram

 

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

 

“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.”  [14]

 

Ulama Syafi’iyah mengharamkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram, juga tidak mengecualikan yang sudah sepuh yang tak ada syahwat atau rasa apa-apa. Mereka pun tidak membedakannya dengan yang muda-muda. [15]

 

Semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya untuk kita dan anak keturunan kita, aamiin.

———————

Footnote:

[1] HR. Al-Bukhari, no. 481, 2446, 6026

[2] QS. At-Tahrîm/66:6

[3] QS. Al Maidah: 2

[4] HR. Al-Bukhâri dan Muslim

[5] HR. al-Bukhâri

[6] QS. An-Nisaa’: 22-24

[7] QS. An-Nuur: 31

[8] Syarh Shahih Muslim, 4:30

[9] HR. Muslim, no. 2159

[10] HR. Ahmad, 1:18. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim

[11] HR. Muslim, no. 2171

[12] HR. Bukhari, no. 870

[13] HR. Muslim, no. 440

[14] HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[15] Lihat bahasan dalam Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 11:452.

 

Referensi :

https://almanhaj.or.id/3466-orang-tua-bertanggung-jawab.html

https://almanhaj.or.id/1324-ahlus-sunnah-wal-jamaah-menjaga-ukhuwwah-persaudaraan-sesama-mukminin.html

https://remajaislam.com/1403-inilah-aturan-bergaul-dengan-lawan-jenis.html

https://muslim.or.id/20344-tolong-menolong-dalam-dosa.html

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar