Wanita identik dengan keindahan, namun apakah keindahan ini yang membuat  seorang wanita menjadi utuh?

 

Apakah yang menjadikan seorang wanita merasa utuh? Apakah saat wanita telah berhasil memiliki pasangan? Atau telah berhasil memiliki anak? Atau saat wanita sukses dunianya?

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.” (HR Muslim).

Seiring berkembangnya zaman, eksistensi wanita telah mengalami banyak perubahan. Masa-masa sebelum datangnya Islam, wanita selalu dihinakan, direndahkan, bahkan tak jarang diabaikan kehadirannya. Namun pada saat Islam datang, keadaannya berubah. Wanita menjadi sangat dimuliakan. Wanita tak lagi dipandang sebelah mata.

 

Dengan apakah Islam memuliakan para wanitanya? Apakah dengan paras? Atau dengan harta? Ataukah dengan takhta?

 

Melihat kondisi hari ini, tak sedikit wanita yang berlomba menunjukkan pada dunia seberapa indah paras yang dimiliki. Bahkan tak sedikit wanita yang menjadikan keindahan fisik sebagai syarat utama untuk  bisa menjadi bahagia.

“Kalau aku cantik mungkin aku akan lebih mudah mendapatkan banyak teman”,

“Kalau aku cantik, mungkin aku lebih mudah menjadi pusat perhatian.”,

“Kalau aku cantik dan tinggi mungkin aku akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan.”, dan kalau-kalau lainnya yang berujung hanya tentang merutuki diri sebab paras atau fisik yang dimiliki.

 

Fenomena seperti ini tak sedikit dari kita –wanita muslimah– tak malu mengumbar aurat yang seharusnya dijaga dan ditutup rapat-rapat. Bahkan menunjukkan pada dunia betapa bangganya ia saat banyak pujian tertuju padanya. Entah sebab hilangnya rasa malu atau sebab minimnya ilmu.

 

Beberapa wanita mengira saat ia memiliki paras atau fisik yang indah, ia akan mudah dimuliakan, akan mudah dihormati juga dihargai. Namun pada kenyataannya, apakah benar keindahan paras atau fisik yang menjadikan seorang wanita dimuliakan?

Jika memang iya, lantas bagaimana dengan kisah wanita berkulit hitam yang dipuji Rasulullah –sallallahu alaihi wassalam-?

 

Dialah Su’airah al-Asadiyyah –radhiyallahu ‘anhaa-. Salah seorang shahabiyat yang dikenal dengan Ummu Zufar. Ia adalah seorang wanita berkulit hitam dari Habsyah, yang saat ini dinamakan Ethiopia. Keimanannya kepada Allah dan rasulNya begitu tulus, sampai ia diumpakan sebagai cahaya dan bukti nyata dalam kesabaran, keyakinan dan keridhaan terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah.

 

Kisahnya mungkin tak banyak didengar orang, namun kita sebagai muslimah dapat mengambil banyak hikmah dan manfaat darinya. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, “Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku pun menjawab, “Tentu saja.” Ia berkata, “Wanita berkulit hitam ini (orangnya). Ia telah datang menemui Nabi shallallahu’alaihi wasallam lalu berkata: “Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh maka tanpa disadari auratku terbuka. Do’akanlah supaya aku sembuh.” Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Jika engkau kuat bersabar, engkau akan memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”  Maka ia berkata: “Aku akan bersabar.” Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku (bila kambuh maka tanpa disadari auratku) terbuka, maka mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Maka Beliau shallallahu ’alaihi wasallam pun mendo’akannya.” (HR. Bukhari)

 

Betapa indahnya iman yang melekat dihatinya. Ia lebih memilih bersabar agar berbuah surga daripada penyakitnya disembuhkan. Ia menemui Rasulullah tersebab penyakitnya membuat auratnya tersingkap. Padahal, saat penyakitnya kambuh dan menyebabkan auratnya tersingkap, tidak ada dosa baginya sebab penyakitnya membuat ia tidak sadarkan diri.

 

Dari kisah Su’ariyah menjadi cermin untuk kita para wanita Muslimah yang masih Allah beri nikmat sehat. Dengan sehat yang Allah beri ini seharusnya menjadikan kita lebih taat lagi perihal menjaga aurat. Ketika mendengar kisah ini, rasanya malu saat ingin mengeluh tersebab kepanasan berhijab saat matahari sedang terik-teriknya, seharusnya kita malu saat khilaf memilih untuk membuka hijab hanya demi seorang lelaki ajnabi (bukan mahrom) yang kita cintai, seharusnya malu saat kita memilih meninggalkan hijab hanya demi pujian dan kepopularitasan. Allahummaghfir lana..

 

Su’ariyah juga mengajarkan kita bahwa kemuliaan bukan didapat dari seberapa indahnya paras yang dimiliki, tapi dari keteguhan hati berusaha menjaga hak-hak Allah dalam dirinya dengan bersabar menghadapi takdir dan merasa malu jika auratnya tersingkap sehingga terlihat oleh banyak mata.

Lalu bagaimana dengan harta, akankah itu yang menjadikan seorang wanita dimuliakan?

 

Tak sedikit juga dari kita yang mengira, saat seorang wanita memiliki harta yang banyak, ia akan mudah berteman dengan siapa saja, akan mudah diterima di lingkungan mana saja.

Jika memang benar bahwa harta dapat menjadikan wanita dimuliakan, lantas bagaimana dengan kisah Ghumaisha binti Milhan yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wassalam-?

 

Ghumaisha binti Milhan, yang lebih dikenal dengan Ummu Sulaim. Ia adalah ibunda dari seorang Anas bin Malik. Keteguhan hatinya untuk masuk Islam sangat bisa dijadikan teladan. Begitupun juga dengan caranya mendidik anaknya yang dimulai dengan menanamkan tauhid sejak sang anak masih sangat belia perlu sekali kita jadikan pembelajaran. Dan hari ini, siapa dari kita yang tidak mengenal salah seorang perawi hadits, Anas bin Malik?

 

Kisah-kisahnya begitu mengagumkan. Kisah-kisah Ummu Sulaim dan anaknya, Anas bin Malik, menjadi perbincangan banyak orang tersebab rasa kagum yang dibuatnya. Sampai suatu ketika seorang lelaki dari kaum musyrik merasa kagum dan jatuh hati kepada Ummu Sulaim yang berstatus janda. Abu Thalhah namanya. Ia begitu ingin menikahi ibunda Anas bin Malik itu. Ia pun memberanikan diri menemui Ummu Sulaim dan menawarkan mahar yang menarik kepadanya. Namun, tak pernah terpikirkan oleh Abu Thalhah akan penolakan yang dilakukan Ummu Sulaim. Dengan penuh kemulian dan kebesaran jiwa Ummu Sulaim berkata: “Tidak patut bagiku menikahi lelaki musyrik. Apa kau tidak tahu wahai Abu Thalhah, bahwa sembahan-sembahan kalian itu hasil pahatan si fulan. Andai kalian mau membakarnya, pasti hangus terbakar.”

 

Mendengar apa yang dikatakan Ummu Sulaim, hati Abu Thalhah sangat hancur, jiwanya bersedih. Ia hampir tak percaya apa yang telah terjadi dan apa yang telah ia dengar. Ia pun pulang ke rumahnya. Namun, penolakan yang dilakukan Ummu Sulaim kemarin, tidak membuatnya putus asa. Hatinya masih dipenuhi dengan rasa cinta kepada sosok Ummu Sulaim. Dan niatnya untuk menikahinya tidaklah berkurang sedikit pun. Esoknya, ia datang kembali menemui Ummu Sulaim dan menawarkan mahar yang lebih menarik lagi daripada sebelumnya. Dengan harapan, kali ini Ummu Sulaim bisa menerimanya.

 

Namun Ummu Sulaim adalah seorang wanita cerdas yang keimanannya telah bertengger dengan kuat dalam hatinya. Meski ditampakkan di hadapan matanya keindahan-keindahan dunia tapi tak dapat membuatnya tergiur lantas rela menikah dengan seorang lelaki musyrik. Dengan sopan, Ummu Sulaim berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalhah! Lelaki sepertimu tentu tidaklah ditolak. Hanya saja kau lelaki kafir sementara aku wanita muslimah. Aku tidak bisa menikah denganmu. Kalau kau mau masuk Islam, biarkan itu menjadi maharku. Aku tidak menginginkan mahar lain (emas dan perak) selain keislamanmu.” (HR. An-Nasa’i)

 

Mendengar perkataan Ummu Sulaim, relung hati Abu Thalhah terguncang. Sikap dan perkataannya memenuhi seluruh jiwa raganya. Tak terasa lidah Abu Thalhah mengucapkan, “Aku memeluk agama yang sama sepertimu. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi dengan sebenarnya) selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.” Melihat hal ini, Ummu Sulaim dan anaknya, Anas bin Malik begitu terharu dan bahagia sebab Allah telah memberi hidayah kepada Abu Thalhah. Setelah itu, terjadilah pernikahan antara Ummu Sulaim dan Abu Thalhah, bermaharkan Islam.

 

Tsabit –perawi hadits dari Anas– berkata, “Belum pernah kami mendengar mahar yang lebih mulia dari mahar Ummu Sulaim; Islam.” (HR. An-Nasa’i)

 

Ummu Sulaim adalah teladan seorang istri salehah yang menunaikkan hak-hak suami dengan begitu baik dan bijaksana. Ia juga teladan seorang pendidik sekaligus ibu yang penyayang lagi mulia.

 

Kecerdasan dan keimanannya yang membuat ia tidak tergiur oleh emas, perak, ataupun perhiasan dunia lainnya, menjadikan ia mendapat kabar gembira dari Rasulullah.

 

Saat Rasulullah sedang melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj, lalu beliau melihat surga. Dan diriwatkan dari Anas, dari Nabi sallallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda, “Aku masuk ke dalam surga, lalu aku mendengar suara, aku pun bertanya, ‘Siapa itu?’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Dia Ghumaisha’ binti Milhan, ibu Anas bin Malik’.” (HR. Muslim)

 

Maha Besar Allah, ketidaktertarikan akan harta dunia, keimanan dan perjuangannya dalam dakwah Islam menjadikan ibunda Anas bin Malik ini mendapat kabar gembira dari Rasulullah berupa surga. Alangkah baiknya jika kita para Muslimah meneladani sikap terpujinya dalam menjadi keseharian kita sebagai hamba. Semoga dengan berusaha meneladani sikap Ummu Sulaim ini, Allah ridhoi kita untuk mendapat surga, sebagaimana yang didapat oleh Ghumaisha’.

 

Melalui kisah Ghumaisha’ yang luar biasa menjadi bukti bahwa kemuliaan seorang wanita tidak pernah ditakar dari seberapa banyak harta yang dimilikinya, tapi lagi-lagi dengan keimanan.

Jika Islam memuliakan wanitanya bukan dengan paras juga harta, lantas dengan apa Islam memuliakannya? Apakah dengan takhta?

 

Takhta, atau juga disebut dengan kedudukan. Tentu bukan hal asing bagi kita bahwa kedudukan bisa mempengaruhi sikap orang lain terhadap seseorang. Dalam dunia pekerjaan, tentu kepala perusahaan atau lembaga yang paling disegani dan dihormati, begitupun juga dalam dunia sekolah, ketua kelas atau bahkan ketua osis adalah yang paling dimuliakan, dan di banyak bidang lainnya. Kita, akan lebih mudah mendapat tempat di hati seseorang, saat memiliki kedudukan atau pangkat yang istimewa.

 

Tapi, coba kita ingat-ingat lagi, tentang kisah yang sepertinya sudah tak asing lagi di telinga. Kisah seorang wanita yang mati syahid pertama kali dalam sejarah Islam. Ia dia adalah Sumayyah binti Khabbath –radhiyallahu ‘anhaa-. Sumayyah adalah budak Abu Hudzaifah, yang kemudian ia bebaskan setelah melahirkan putra pertamanya dari Ammar bin Yasir.

 

Meski pernah menjadi seorang budak, Sumayyah masuk ke dalam deretan 10 orang pertama yang menampakkan keislamannya. Dan sebab keislamannya ini, ia disiksa dengan keji oleh Abu Jahal. Ia dipaksa untuk keluar dari Islam dan kembali kepada agama sebelumnya, namun ia menolak dengan keras. Tak peduli seberapa sakit dan berat derita yang ia rasakan, ia hanya ingin mempertahankan keislamannya.

 

Pada saat prosesi penyiksaan keluarga Yasir, Rasulullah melintas, lalu menghampiri keluarga Yasir (Sumayyah, anaknya dan suaminya) dan beliau hanya bisa berkata, “Bergembiralah wahai keluarga Yasir, karena janji kalian (untuk saling bertemu) adalah (di) surga.” (HR. Hakim)

 

Maha Besar Allah, apa yang diucapkan Rasulullah layaknya angin segar penguat keluarga itu, terlebih Sumayyah. Seakan beban berat akan penyiksaan yang menimpanya terasa ringan. Meski begitu, siksaan dari Abu Jahal terhadap Sumayyah tak henti bahkan semakin jadi. Namun, Sumayyah berusaha untuk tetap bersabar akan siksaan dan tetap memegang teguh keislamannya. Sampai akhirnya Abu Jahal menikam dengan tombak tepat pada kemaluannya. Dan pada hari itu tercatat dalam sejarah bahwa Sumayyah binti Khabbath menjadi wanita pertama yang mati syahid dalam Islam.

 

Kisah Sumayyah, mengajarkan kita betapa pentingnya menjaga keteguhan iman. Tak peduli dari mana keluarga kita berasal, tak peduli seberapa berat ujian kehidupan, urusan akhirat harus lebih diutamakan daripada urusan dunia. Sebab dengan itu, ia menjadi salah seorang wanita yang Allah muliakan.

 

***

 

Kisah Su’airah Al Asadiyah, Ghumaisha binti Milhan, dan Sumayyah binti Khabbath –radhiyallahu ‘anhunna– meyakinkan kita bahwa kemuliaan seorang wanita bukan terletak pada paras/fisik, harta, juga takhta. Melainkan terletak pada sesuatu yang lebih berharga dari itu semua, yakni taqwa. Hanya taqwa yang mempu mengantarkan seorang wanita mencapai derajat kemuliaan di mata Tuhan Yang Maha Esa.

 

Jadi, apa yang mampu menjadikan seorang wanita menjadi utuh? Ialah saat ia menjadi wanita salehah dan senantiasa berbahagia akan ketaatan pada Rabbnya. Sebab saat ia menjadi wanita salehah yang sesungguhnya, ia akan begitu dimuliakan. Bukan hanya oleh penduduk bumi, tapi juga penduduk langit.

Tidakkah ini begitu indah?

 

Islam juga telah menghadirkan banyak kisah wanita-wanita dahulu yang bisa dijadikan sebagai rolemodel para wanita masa kini yang mendamba sebuah ketaqwaan juga keimanan yang benar-benar mengakar dalam jiwa dan raga. Kisah-kisah mereka telah termaktub di banyak kitab yang beredar di sekitar kita. Sehingga menjadi wanita salehah masa kini bukan sebuah kemustahilan, asal kita mau belajar dan terus belajar :).

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar