Salah satu sebab yang menjadi pemancing emosi atau kemarahan seorang wanita ialah karena wanita lebih mengedepankan perasaannya. Maka, dengan beralasan ini pula, wanita merasa boleh dan benar untuk melampiaskan rasa marahnya itu dengan tingkah laku yang tidak baik, tidak beradab dan secara utuh hanya mengikutkan hawa nafsunya. Jika diingatkan, maka hanya kata- kata yang sering dilontarkan.

 

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, salam dan shalawat bagi nabi mulia kita, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabat mulia beliau.

 

Wanita dengan segala kiprahnya dikehidupan tidak pernah lepas dari peran perasaannya disetiap gerak dan lakunya. Pun alasan “perasaan” turut digadang- gadang sebagai faktor pencetus dari sulitnya wanita mengendalikan diri ketika menemui hal-hal yang tidak berkenan di hati, dengan berdalih, “ Kan wajar saja. Wanita itu kan apa- apa memang pakai perasaan.” Lalu semua berjalan begitu terus menerus, lagi dan lagi. Pertanyaannya, apakah hal itu benar menurut syariat Allah? Mari kita bahas bersama.

 

Semua manusia sama di pandangan Allah

Meskipun laki- laki dan wanita memiliki bentuk fisik yang berbeda, cara pandang yang tidak sama, memiliki tugas dan fungsi yang berbeda di kehidupan ini, namun secara tujuan penciptaan antara keduanya sama sekali tidak Allah bedakan. Allah menciptakan manusia untuk satu tujuan, yaitu beribadah kepada Allah saja.

 

Firman Allah ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

 

Allah tidak memandang kemuliaan manusia dari gender, status, nasab, srata sosial di masyarakat, pekerjaan, harta atau kedudukan/ jabatannya, namun Allah menilai manusia dari seberapa bertaqwanya manusia itu kepada Allah selama hidupnya. Bagi siapa yang mampu menjadikan dirinya hamba Allah yang paling bertaqwa, maka dialah sesungguhnya manusia yang paling mulia dihadapan Allah.

 

Allah ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

 

Dalam beberapa hadits juga menjelaskan tentang hal ini, diantaranya adalah hadits berikut:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian. Namun yang Allah lihat adalah hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,

“Siapakah orang yang paling mulia?” “Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan”. “Manusia yang paling mulia adalah Yusuf, nabi Allah, anak dari Nabi Allah, anak dari nabi Allah, anak dari kekasih-Nya”, jawab beliau. Orang tersebut berkata lagi, “Bukan itu yang kami tanyakan”. “Apa dari keturunan Arab?”, tanya beliau. Mereka menjawab, “Iya betul”. Beliau bersabada, “Yang terbaik di antara kalian di masa jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam jika dia itu fakih (paham agama).” (HR. Bukhari no. 4689)

 

Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كرم الدنيا الغنى، وكرم الآخرة التقوى

“Mulianya seseorang di dunia adalah karena kaya. Namun mulianya seseorang di akhirat karena takwanya.” Demikian dinukil dalam tafsir Al Baghowi. (Ma’alimut Tanzil, 7: 348)

 

Marah itu manusiawi

Seluruh manusia yang Allah ciptakan dianugerahi rasa marah di dalam jiwanya. Ini tentu bukan tanpa maksud Allah menjadikan demikian. Rasa marah dijadikan ada dalam diri manusia, sebagai ujian bagi manusia untuk melihat siapa manusia yang benar-benar memiliki akhlak mulia diantara seluruh manusia di muka bumi ini, yaitu mereka yang mampu mengendalikan emosi/ amarahnya dengan cara yang telah Allah syariatkan. Sehingga terlihat dengan jelas, mana orang-orang yang benar-benar sabar dan taat kepada Allah dan mana dari manusia yang hidupnya hanya mengikutkan hawa nafsunya saja. Termasuk Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga memiliki rasa marah di dalam dirinya., sebagaimana sabda beliau shalallahu alalihi wa sallam:

 

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ

“Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.” (HR Muslim no. 2603).

 

Sesungguhnya rasa marah yang ada dalam diri manusia Allah ciptakan juga dengan tujuan bisa membuat manusia berani menegakkan amal ma’ruf nahi munkar. Rasa marah yang dimiliki mampu mewujud sebagai pendorong terbesar dalam diri manusia itu untuk menegakkan kebenaran dimanapun ia berada tanpa gentar dan tanpa rasa takut sedikitpun. Bahkan membuat manusia tak lagi berfikir panjang disebabkan amarahnya rela mengorbankan nyawa mereka demi menegakkan agama Allah di atas bumi Allah ini. Marah terpuji ini serupa yang dicontohkan oleh uswatun hasanah kita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika dilanggar batasan syariat Allah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah”(HR al-Bukhari no. 3367 dan Muslim no. 2327).

 

Dalam Kitab Jaami’ul ‘uluumi wal hikam halaman 148,  Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Wajib bagi seorang mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang dihalalkan oleh Allah baginya, yang ini bisa termasuk niat baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari Allah Ta’ala). Dan wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain, serta dalam rangka menghukum/mencela orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:

 قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ (14) وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ…

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang beriman” (QS at-Taubah: 14-15)

 

Mewaspadai sifat marah

Lalu pertanyaannya yang muncul di benak kita adalah,

 

“Mengapa ketika marah kita harus berupaya untuk mengendalikan rasa marah yang datang tidak terduga dan tidak bisa diprediksi kemunculannya?”

 

Jawabannya karena ternyata bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya. Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa, bukan mereka yang tidak punya rasa marah sama sekali, namun mereka selalu berusaha melawan keinginan hawa nafsu, maka mereka pun selalu mampu meredam kemarahan mereka karena Allah Ta’ala.

 

Allah Ta’ala berfirman:

 وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”

ٱلَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS Ali ‘Imran:133- 134).

 

Ini sebab utama, kita harus mewaspadai rasa marah dalam diri kita sendiri. Dengan memiliki kewaspadaan, kita tidak mudah terbawa hasutan dan bujukan syaithan untuk melampiaskan rasa marah dengan takaran nafsu kita, yang tentu bisa sangat brutal dan bersifat merusak. Sekuatnya berusaha melawannya dan menaklukkan liarnya rasa marah yang berkobar di dalam hati kita. Memang tidak mudah. Pasti berat untuk dilakukan. Namun kita harus berupaya menguatkan diri kita untuk bisa keluar sebagai pemenang dalam pergulatan dengan diri sendiri melawan amarah. Hanya orang- orang kuat saja yang bisa melakukan hal ini.

 

Rasulullah shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”( HSR al-Bukhari no. 5763) dan Muslim no. 2609).

 

Yuuk lanjut di part 2 yaa… . https://mmshalihah.com/nasihat/manajemen-emosi-wanita-part-2/

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar