[Bagian 3]

2. Anak Usia 7-10 tahun – menumbuhkan dan menyadarkan potensi gendernya.

Ini tahap menumbuhkan identitas menjadi potensi. Dari konsepsi identitas gender menjadi potensi gender. Dari keyakinan konsep diri sebagai lelaki dan sebagai perempuan, menjadi aktualisasi potensi diri sebagai lelaki atau potensi diri sebagai perempuan pada sosialnya.

 

Jadi, kalau di usia awal anak- anak memahami identitas dirinya dengan penguatan pengenalan identitas diri, sehingga dengan lantang, jelas dan meyakinkan anak- anak dengan bangga berucap, “Aku laki– laki”,  Atau “Aku perempuan. Maka, di usia anak 7- 10 tahun, anak sudah harus ditumbuhkan kesadaran akan potensi gendernya. Anak-anak jadi paham mengenai hal- hal yang dilakukan laki- laki itu demikian di sosialnya. Aku sebagai laki- laki yang dilakukan itu begini begini begini. Dan ini sudah terkonsep di pemahaman anak di usia 7- 10 tahun. Mereka pun mulai memerankan apa yang mereka pahami tersebut. Jadi tidak akan ada ceritanya, anak laki- laki diusia ini sembunyi- sembunyi pakai bedak dan make up di luar rumah, atau bertingkah gemulai. Karena dalam diri anak sudah tumbuh kesadaran seperti apa dirinya harus bersikap, berbuat dan bertingkah laku sebagai laki- laki. Begitu juga sebaliknya anak perempuan. Mereka akan merasa rishi bahkan malu jika melakukan hal- hal diluar pemahaman tentang bagaimana seharusnya prilaku mereka sesuai gendernya.

 

Karenanya di tahap ini, anak lelaki lebih didekatkan kepada ayah, agar mendapat suplai “kelelakian” atau maskulintas, melalui interaksi aktifitas dengan peran peran sosial kelelakian, misalnya diajak ke masjid, diajak naik gunung, diajak olahraga yang comdong dilakukan laki- laki semisal silat, tekwondo, dll. Begitu juga pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki- laki.

 

Misalkan, ketika ayah mengganti gallon air minum, ayah mengajak anak untuk sama- sama mendorong gallon ke tempat dispensernya.

Walau kontribusi dari tenaga anak tentu tidak seberapa, namun anak sudah dilibatkan dalam pekerjaan kelaki-lakian sehingga nantinya anak tidak merasa canggung atau aneh ketika nantinya megerjakannya sendiri. Atau ketika gas habis, ayah mengganti gas, anak juga dilibatkan untuk membantu sehingga anak walau belum sepenuhnya melakukannya akan tetapi dirinya sudah mulai menjalani pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki- laki.

 

Ajak anak sesekali untuk ikut ayahnya ke tempat kerjanya. Jika ayahnya seorang ustadz, maka ajak anak ikut tatkala ayahnya memberikan kajian. Sehingga anak akan menirukan atau punya pemikiran jika seorang laki- laki itu bekerjaanya salah satunya seperti pekerjaan ayahnya. Lalu anak mulai bermain peran menirukan apa yang dikerjakan ayahnya selama bekerja. Kemudian punya pemikiran, Aku ingin jadi jadi penceramah juga seperti abi.”

Begitupun pada anak perempuan, diajak dan dilibatkan dalam pekerjaan ibunya, sehingga kemudian mereka akan bermain peran menirukan ibunya saat bekerja. Dan tertaman dalam benaknya, “Aku nanti ketika besar mau rajin masak seperti ummi”

 

Para ayah sebaiknya mulai berusaha menjadi idola anak lelakinya, dengan beragam kegiatan maskulin bersama, sampai anak lelakinya berkata aku ingin menjadi seperti “ayah”. Pun demikian dengan ibu, berusaha menjadikan dirinya sebagai figure yang diidolakan oleh anak perempuannya.

 

Lisan dan telinga ayah harus nampak sakti bagi anak lelakinya. Ayah harus menjadi penutur hebat bagi anak lelakinya dengan narasi narasi besar sejarah dan peradaban serta peran keluarganya dalam menyelesaikan masalah ummat atau menghidupkan potensi ummat dalam pentas peradaban.

 

Di usia ini pula orangtua harus mulai menjelaskan pada anak tentang ciri- ciri ketika mereka mulia balihg dan tanda bahwa mereka sudah balihg.

 

Ayah yang harus menjelaskan tentang “mimpi basah” dan fiqh kelelakian, seperti mandi wajib, peran lelaki dalam masyarakat, konsep tanggung jawab aqil baligh, pokok aqidah,  ketika anak lelakinya menjelang usia 10 tahun.

 

Anak lelaki yang tidak dekat dengan ayahnya atau kekurangan suplai maskulinitas akan mengalami permasalah peran kelelakian ketika dewasa.

 

Sejalan dengan di atas, pada tahap ini, anak perempuan lebih didekatkan kepada ibunya, agar mendapat suplai “keibuan” atau suplai feminitas, melalui interaksi aktivitas dengan peran peran sejati sosial keperempuanan, misalnya merawat keluarga, memasak, menjahit, menata rumah, menata keuangan dan seterusnya.

 

Para Bunda, disarankan berhenti “catering” dan “menjahit sendiri”, tunjukan pada anak perempuan bahwa tangan dan kaki bunda “sakti”. Jadikanlah tangan sakti dalam merawat dan melayani, lalu jadikanlah kaki sakti dalam urusan keperempuanan dan keibuan.  Sehingga sampai pada taraf dimana anak perempuan berucap, “Bisa ga ya aku nantinya seperti bunda ketika sudah menikah nanti. Mengurus suami dengan baik, mengurus rumah dan anak– anak serta bekerja sebaik bunda. Aku ingin sekali bisa seperti bunda”. Para Bunda sebaiknya mulai berusaha menjadi idola bagi anak perempuannya, sampai ia berkata. “Aku ingin seperti bunda, keren banget”.

 

Bunda juga yang harus menjelaskan tentang “haidh” dan fiqh perempuan, seperti mandi wajib, peran wanita dalam masyarakat, konsep tanggung jawab aqil baligh, pokok aqidah,  ketika anak perempuannya menjelang usia 10 tahun.

 

Indikator keberhasilan melalui tahap ini adalah anak laki-laki mengagumi ayahnya dan anak perempuan mengagumi ibunya.

3. Usia 11-14 Tahun ( pre akil baligh) – Mengokohkan Fitrah Seksualitas

Setelah fitrah seksualitas kelelakian dari anak lelaki dianggap tuntas bersama ayahnya, kini saatnya anak lelaki lebih didekatkan kepada ibunya, agar dapat memahami perempuan dari cara pandang seorang perempuan atau ibunya.

 

Anak lelaki harus memahami “bahasa cinta” perempuan lebih dalam, karena kelak dia akan menjadi suami dari seorang perempuan yang juga menjadi ibu bagi anak anaknya.

 

Anak lelaki yang tidak lekat dengan ibunya pada tahap ini, berpotensi untuk menjadi “playboy”, dan kelak menjadi suami yang berpotensi kasar dan kurang empati.

 

Begitu pula sebaliknya, setelah fitrah seksualitas keperempuanan dari anak perempuan dianggap tuntas bersama ibunya, kini saatnya anak perempuan lebih di dekatkan kepada ayahnya, agar dapat memahami lelaki dari cara pandang seorang lelaki.

 

Anak perempuan harus memahami “bahasa seorang lelaki” secara mendalam, karena kelak dia akan menjadi istri dari seorang lelaki yang juga menjadi ayah dan imam bagi keluarganya.

 

Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya, secara alamiah memiliki mekanisme bertahan untuk mampu membedakan mata lelaki baik dan mana lelaki buruk dalam kehidupan sosialnya.

 

Indikator pada tahapan ini adalah persiapan dan keinginan menjadi ayah bagi anak laki-laki dan menjadi ibu bagi anak perempuan.

4.  Usia > 15 tahun (baligh)

Ini masa dimana fitrah seksualitas kelelakian matang menjadi fitrah peran keayahan sejati, dan fitrah seksualitas keperempuanan matang menjadi peran keibuan sejati.

 

Wujudnya adalah kesiapan untuk memikul beban rumah tangga melalui pernikahan, membangun keluarga, menjalani peran dalam keluarga yang beradab pada pasangan dan keturunannya.

 

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa:

1. Tahapan penumbuhan fitrah seksualitas:

  • 0-2thn dekat dengan ibunya ( masa menyusu)
  • 3-6 thn dekat dengan kedua ortu
  • 7-10 dekat sesuai gender
  • 11-14 thn dekat lintas gender
  • 15thn < usia aqil baligh anak sudah siap berperan sebagai ayah bunda sejati

2. Prinsip mendidik fitrah seksualitas adalah:

 

Prinsip 1: Fitrah Seksualitas memerlukan kehadiran, kedekatan, kelekatan dengan figur Ayah dan Ibu secara utuh dan seimbang sejak anak lahir sampai usia aqil-baligh (15 tahun).

 

Prinsip 2: Ayah berperan memberikan Suplai Maskulinitas dan Ibu berperan memberikan Suplai Femininitas secara seimbang. Anak lelaki memerlukan 75% suplai maskulinitas dan 25% suplai feminitas. Anak perempuan memerlukan suplai femininitas 75% dan suplai maskulinitas 25%.

 

Prinsip 3: Mendidik Fitrah seksualitas sehingga tumbuh indah paripurna akan berujung kepada tercapainya Peran Keayahan Sejati bagi anak lelaki dan Peran Keibuan sejati bagi anak perempuan. Buahnya berupa adab mulia kepada pasangan dan anak keturunan.

 

Jika anak kehilangan salah satu sosok figur, maka harus dicarikan sosok pengganti dari sosok keluarga atau komunitas.

Dampak tidak terjaganya fitrah anak sesuai gendernya:

Penyimpangan fitrah seksualitas sangat beragam, kasusnya tidak hanya terjadi di kalangan manusia liberal namun juga manusia religius, karena setiap aspek fitrah adalah keniscyaan bagi manusia yang perlu mendapat saluran dan mendapat perhatian untuk dididik.

 

Mereka yang berlebihan dalam menyalurkan dorongan seksualitasnya dengan mengumbar syahwatnya maupun berkekurangan atau berlebihan dalam membatasi dorongan seksualitasnya dengan pola hidup tidak menikah seperti menjadi rahib atau pendeta juga mengalami penyimpangan fitrah seksualitasnya.

 

Begitupula anak lelaki yang suplai “feminitas” dari ibu berlebihan sementara suplai maskulinitas dari ayah berkurangan, akan mengalami penyimpangan fitrah seksualitasnya yaitu menjadi “melambai” atau cenderung “homo” atau setidakmya kurang kejantanannya.

 

Anak perempuan yang berkekurangan suplai “feminitas”dari ibu, sementara berkelebihan dalam suplai “maskulinitas” dari ayah, akan mengalami penyimpangan fitrah seksualitas yaitu menjadi tomboy atau cenderung ke arah lesbian atau setidaknya kurang kelembutan seorang perempuan.

 

Kasus anak yang dipisahkan dari ayah dan ibunya terlalu cepat sebelum aqil baligh (usia 15 tahun), baik karena peperangan, bencana, perceraian maupun karena dikirim ke boarding school, menurut banyak riset akan mengalami penyimpangan seksualitas. Kasus LGBT juga banyak terjadi di Pondok Pesantren dengan korban anak anak yang belum aqilbaligh. Setidaknya, kurangnya suplai ayah dan suplai ibu secara seimbang sesuai gendernya di masa anak sejak usia 0-14 tahun, akan berdampak buruk pada fitrah seksualitasnya ketika dewasa.

 

Anak perempuan yang tdekat dengan Ibunya atau tidak kekurangan suplai “feminitas” berpotensi akan menjadi perempuan sejati atau ibu yang baik kelak.

 

Apa yang harus ortu siapkan untuk bisa mengarahkan anak sesuai dengan fitrah seksualnya?

  1. Kedekatan dengan Allah.

Kita butuh taufik dari Allah untuk mudah dalam mengarahkan anak- anak. Sebab kita butuh petunjuk dari Allah untuk bagaimana terbaik cara untuk mengarahkan anak- anak. Kita memerlukan pertolongan Allah untuk segala halangan dan rintangan Allah singkirkan dari jalan kita selama mendidik anak- anak

.

  1. Ilmu

Kita bisa benar mengarahkan anak- anak kita sesuai gendernya apabila ilmunya sudah kita pahami dan mampu kita terapkan dalam pengasuhan anak sedari kecilnya.

 

 

  1. Memahami syariat Allah

Kedua ortu melaksanakan syariat Allah semampunya di dalam kehidupan sehari- hari, berikut sunnah- sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

 

  1. Senantiasa membersamai anak di masa pencarian identitas anak

Hal ini dilakukan sejak usia anak 0- 15 tahun anak. Terutama di 7 tahun pertama anak. Bukan hanya secara fisik ada bersama anak, namun lebih dari itu, menunjukkan perannya sebagai ibu dan ayah bagi anak.

 

  1. Membangun kedekatan dengan anak secara batin

Hal ini bertujuan agar mudah bagi anak untuk mengadopsi segala hal yang dicontohkan oleh ayah dan atau ibunya dalam rangka menanamkan peran dan fungsi anak sesuai gendernya.

 

  1. Adanya kesadaran penuh dalam diri orang tua

Kesadaran ini adalah pemahaman bahwa ortulah yang bertanggungjawab seutuhnya atas pendidikan anak, sehingga bersedia dengan ikhlas dan  sabar serta penuh kasih sayang membersamai anak- anaknya.

Insya Allah dengan memberikan pengasuhan anak sesuai dengan fitrah gendernya,menjadi asbab anak- anak kita kelak mampu menjalani kehidupannya sesuai peran dan fungsi gendernya dengan baik sebagaimana yang Allah syariatkan kepada manusia, aamiin.

 

Semoga bermanfaat.

 

Penulis : Ummi Santy Andriani Hafidzahallah

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar