Bagaimana mendidik anak sesuai fitrah seksualitasnya?

Setiap tahapan usia anak memiliki kebutuhan yang berbeda dalam hal perlakuan dari ayah dan ibunya sebagai upaya orangtua mendidik anaknya sesuai fitrah seksualnya. Di sini insya Allah akan dipaparkan sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami dan insya Allah mudah untuk diterapkan, terlebih ini based on pengalaman pribadi penulis dalam mendidik anak sesuai gendernya.

  1. Usia 0- 6 tahun

– Dua tahun pertama masa dimana merawat kedekatan anak. Membangun ikatan batin dengan

Pada  usia anak dengan gender apapun baik laki- laki atau perempuan butuh kedekatan yang lekat bukan hanya secara fisik tapi juga psikis ( batin) adanya bounding attachment antara anak dengan ibunya. Fase ini adalah masa menyusui. Jadi anak disusui bukan diberi ASI saja. Sehingga, jiwa anak terpenuhi kebutuhan akan kasih sayang dari kelembutan dan cinta kasih ibunya yang anak peroleh dari belaian, sentuhan lembut, tatapan mata penuh cinta serta kata-kata lembut sang bunda.

 

– Setelah dua tahun fase menyusui dimana anak telah memiliki kedekatan dengan ibunya, selama masa itu, maka selanjutnya menguatkan konsep diri berupa identitas gender anak. Pada masa ini sekitar usia 2-6 tahun, anak mulai harus punya kedekatan dengan kedua orangtuanya. Jadi porsi kebersamaan dan sentuhan dengan ayah dan ibu harus didapatkan anak. Ini untuk menguatkan identitias diri pada anak. Sehingga anak memahami bahwa, ada dua identitas seksualitas manusia, yaitu perempuan yang dia lihat dari sosok ibunya dan laki- laki yang bisa dia lihat dari ayahnya. Di usia ini,

  • Orangtua mengenalkan dan mengajari anak tentang nama- anma anggota tubuhnya, termasuk bagian vital anak.

 

  • Menjelaskan tentang adanya laki- laki dan perempuan dari keberadaan ayah dan ibunya sebagai modelnya.

 

  • Mengenalkan aurat anak dan batasan aurat masing- masing anak, laki dan perempuan sesuai syariat.

 

  • Tidak memperbolehkan anak laki- laki untuk memakai atribut yang dimiliki ibunya, semisal pakaian, mukena, sandal, sepatu, make up tas dan lain- lainnya. Walau dalam konteks bermain, bercanda atau seru- seruan anatara orang tua dengan anak. Begitu juga sebaliknya terhadap anak perempuan, tidak diperbolehkan untuk memakai atribut yang biasanya dipakai ayahnya, misalkan sepatu, perlengkapan sholat, baju, dan lainnya.

 

  • Anak wanita mulai didekatkan dengan segala hal yang berhubungan dengan atribut wanita, dalam hal berpakaian, bersikap, sesuai aturan syariat. Misalkan mulai dikenalkan dengan kerudung dan gamis, dipakaikan kaos kaki, cadar dan dipakai oleh anak dengan sekemampuan anak. Di sini disampaikan bahwa anak boleh melepas dan kemudian memakai lagi karena masih dalam proses belajar untuk memasuki masa baligh dimana atribut tersebut harus sdh dikenakan dalam segala keadaan ketika keluar rumah/ada laki- laki yang bukan mahromnya. Dikenalkan seperti apa peran seorang wanita dengan contoh dari ibunya. Anak di ajak untuk memasak di dapur, berikan bagian sayur atau bahan- bahan masak yang bisa dipergunakan untuk anak bermain dengan menirukan apa yang ibunya lakukan, misalkan memotong sayur, membantu mengambilkan bawang, menghitung tomat dan lainnya yang menjadi kegiatan menyenangkan anak di dapur.

 

Jika hal ini luput dilakukan, atau ketika anak ingin membantu ibunya/ melakukan aktifitas bersama ibunya kemudian kemudian anak ditolak/ dimarahi bahkan di usir keluar dapur dengan alasan nanti kena panas kompor, nanti main pisau tangannya terluka atau alasan kecemasan lainnya, maka ini adalah cikal bakal dimana anak perempuan ketika kelak dewasa biasanya merasa tidak nyaman berlama ada didapur untuk masak memasak. Anak tidak berminat untuk memasak atau kegiatan yang berhubungan dengan masak memasak.

 

Ajak anak untuk membantu membereskan rumah/ bersih- bersih dengan memberikan anak perlengkapan yang sama dengan yang dipunya ibunya akan tetapi dengan ukuran yang sesuai untuk anak- anak.

 

Anak diajak untuk melihat- lihat resep dan foto berbagai masakan sehingga mengundang minat anak untuk memasak, kemudian bersama anak memasak  salah satu masakan yang disukai anak.

 

Melibatkan anak untuk merefresh interior ruangan di dalam rumah. Sehingga anak bisa belajar tentang tata ruang dan bagaimana menjadikaan ruangan tempat tinggal menjadi rapi, nyaman daan indah.

 

Ajak anak ikut belanja di pasar tradisional dan supermarket. Kemudian ajarkan anak untuk menanyakan tentang harga suatu item yang mau dibeli kepada penjualnya. Mengajarkan anak untuk mengetahui apa saja yang harus dilakukan ketika hendak membeli suatu barang di supermarket, diantaranya harus menemukan label halalnya, mengetahui kapan masa expirednya, apa saja komposisi dari gizi suatu barang yang akan dibeli. Misalkan ada pemanis buatan atau tidak, pengawet dll.

 

Menunjukkan pada anak tentang perawatan diri dengan mencontohkannya ketika ibunya ke salon, atau memberlakukan pada anak. Creambath di rumah untuk perawatan rambut, perawatan kuku,dll.

 

  • Anak laki- laki mulai dikenalkan dan didekatkan dengan segala hal yang berbubungan dengan identitas laki- laki. Mencukur rambutnya bersama ayah, diajak kemasjid dengan memakai baju koko dan kopiah/ dipakaikan sarung, memakai wewangian, diberikan kesempatan untuk melihat dan terlibat kegiatan ayahnya ketika bekerja atau berkegiatn, misalkan membenahi barang yang rusak, memasang gorden, membenahi mobil/ motor dan minta anak mengambilkan alat- alat yang berhubungan dengan kegiatan sambil mengenalkan nama alat serta kegunaannya kepada anak.

 

Anak laki- laki juga perlu diajak untuk melihat kegiatan ibunya, misalkan memasak, bersih- bersih rumah, menjahit, sambil dikenalkan kepada anak bahwa apa yang dikerjakan ibunya adalah pekerjaan wanita, sesuai dengan gender ibu yang seorang wanita. Jadi bisa disampaikan pada anak, Abang, ummi sedang masak untuk makanan kita hari ini. Ini pekerjaan wanita. Abang boleh membantu ummi, supaya nanti abang seperti abi yang ketika ummi sakit, abi yang menyiapkan makanan untuk kita semua.”

 

  • Support anak ketika sedang berimajinasi mempraktekkan apa yang dilihat dari pekerjaan ayahnya. Contoh, Syaikh ( anak penulis-red) ketika itu berusia 3 tahun, dia menyusun bantal, kemudian seakan- akan sedang ada di atas tangga. Tangannya memutar- mutar ke atas seperti melepaskan sesuatu. Kemudian dia memanggil- manggil umminya untuk minta tolong memegangkan sesuatu dari tngannya. Lalu minta pegangkan pula bantal- bantalnya supaya dia tidak Kemudian meminta seuatu yang tadinya diserahkannya pada umminya. Hal ini terjadi ternyata karena anak ini berimajinasi memasang bola lampu. Dan apa yang dia peragakan sama persis dengan abinya. Nah, orang tua ketika mendapati hal ini pada anak, jangan memarahi anak, namun kita harus mensuport anak mengikuti imajinasinya, karena saat itu dia sedang memerankan dirinya sebagai laki- laki dewasa. Contoh lainnya, anak bisa bermain peran menjadi imam sholat di rumah, ibunya menyediakan dirinya untuk mnejadi makmumnya. dll

 

  • Penanaman identitas anak ketika sholat berjamaah, dengan menekankan bahwa shaf depan untuk laki- laki. Sampaikan pada anak, “Abang sholat di shaf depan bersama abi karena abang laki- laki, sama seperti abi juga laki- laki. Kalau adek di shaf belakang bersama ummi, karena  adek perempuan. Shaf perempuan itu menurut aturan syariat Allah berada dibelakang shafnya laki– laki.”

 

  • Ketika sholat, biasakan untuk selalu menempatkan anak laki- laki ketika anak sedang belajar sholat bersamaan dengan sholat ibunya di depan sang ibu. Walau anak- anak belum sempurna dan masih belajar Kita sampaikan bahwa anak laki- laki adalah pemimpin dan sholatnya di depan. Dengan menyampaikan pada anak laki- laki, Abang laki– laki. Laki– laki itu pemimpinnya wanita. Abang sholatnya di depan ya. Baik– baik abang sholatnya, karena seorang pemimpin yang ada didepan dicontoh oleh makmum yang ada dibelakangnya. Ini untuk menanamkan kesadaraan pada jiwa anak akan peran laki- laki sebagai pemimpin yang ada pada diri anak.

 

  • Pada tahap ini praktek “toilet training”, dapat dijadikan juga sarana menumbuhkan fitrah seksualitas berupa penguatan konsep diri atau identitas gendernya. Kita bisa sampaikan bagaimana menurut sunnah cara laki- laki dan perempuan saat buang hajat. Dan ketika di WC umum di fasilitas publik bisa kita ajarkan anak dengan bahwa yang ini toilet untuk laki- laki, tandanya begini. Dan yang ini toilet wanita dengan tanda begini.

Dengan memberikan penanaman sejak dini pada anak, maka di usia 3 tahun, anak harus dengan jelas mengatakan identitas gendernya. Misalnya anak perempuan harus berkata “Bunda, aku perempuan seperti bunda”, sebaliknya begitu juga dengan anak lelaki, dengan lugas mengatakan,” Aku laki- laki seperti abi.” Dan hal ini bisa menjadi sebuah identitas diri yang divalidasi oleh anak dengan lugas apabila kita sebagai orang tua secara berulang menyampaikan pada anak akan siapa sesungguhnya gendernya. Bisa dengan mengatakan pada anak laki- laki saat ia inginmencoba bedak ibunya, dengan mengatakan, “Abang laki- laki, laki- laki tidak pakai bedak seperti ummi biasa berbedak. Orang yang pakai bedak hanya perempuan. Coba ingat- ingat, abi laki- laki sama seperti abang. Nah, abi pakai bedak tidak? Ga kan?”

 

Jika sampai usia 3 tahun anak masih “bingung” akan identitas gendernya, ada kemungkinan ini dikarenakan sosok ayah atau sosok ibu tidak hadir dalam jiwa anak. Maka, orangtua harus menyadari hali ini, dan di usia ini adalah waktu dimana tahap penguatan konsep identitas gender pada diri anak dilakukan. Ini adalah red flag untuk orang tua menyadari atas kebutuhan anak sesuai gendernya untuk diberikan penanaman mengenai identitas gender pada sang anak.

berbagi ilmu

Silahkan bagikan ilmu ini pada yang lain!

Tinggalkan Komentar